Mendung menyelimuti hari ini, yang membuat semangat ke sekolah menjadi terhambat. Apalagi ujian akan di laksanakan pagi ini juga. Aira yang kini baru saja bangun tidur, terpaksa tuk mandi. Meskipun rasa dingin yang tidak bersahabat.
"Pagi, Pah," sapa Aira kepada Papanya.
"Sarapan dulu, Ra. Nih Papah buatin nasi goreng."
Tanpa di suruh pun Aira sudah duduk manis di tempatnya. Sambil tersenyum melihat Papanya itu. Aira tak perduli, bila semasa hidupnya ia tidak bisa merasakan sosok seorang Ibu. Karena baginya, Papah adalah malaikat satu-satunya yang ia punya. Aira tak mau yang lain.
"Pah, ajarin Aira masak dong. Kaya bikin nasi goreng gini." Papah pun tak menjawab pertanyaan Aira, malahan ia tertawa mengejeknya, yang membuat wajah Aira kemerahan menahan malu.
"Papaaaa... Udah ih, Aira malu."
"Hahaha... iya-iya maafin Papah. Lagian tumben kamu ngomong begitu, pasti ada maunya nih. Iya kan?"
"Iihhh, enggga kok, Pah. Orang anaknya pingin pinter masak, masa ga boleh."
"Iya, deh. Nanti Papah ajarin. Sekarang habisin dulu sarapannya, ntar telat."
"Makasih, cintakuuuu..." Itulah sebutan yang sering Aira ucapkan kepada Papanya.
***
"Ra, tunggu!" Aira yang merasa terpanggil pun menengok ke sumber suara. Dari kejauhan terlihat sahabatnya berlari sambil membawa kue-kue yang sering di jual di sekolahan ini. Aira menunggunya sambil tersenyum, namun tiba-tiba dari belakang ada yang menabrak Aira. Sehingga Aira terjatuh bersama buku-buku yang di bawanya.
"Sorry, gue ga liat!" Tangan itu yang pertama kali terlihat oleh Aira. "Kamu ga apa-apa kan?"
Belum sempat Aira menjawabnya, sahabatnya datang menghampiri. "Duhhh... Aira, kamu ga apa-apa kan? Sini aku bantu!"
Setelah menolong Aira, sahabatnya marah-marah kepada sosok laki-laki yang entah siapa. Karena Aira sendiri belum sempat melihat orang yang menabraknya barusan.
"Udah lah, Za. Mending masuk kelas aja yuk!" Ajak Aira.
"Tapi aku masih kesel."
"Kamu mah aneh, Za. Yang di tabrak siapa yang kesel siapa," ucap Aira sambil tertawa renyah.
Teetttt...
Bel masuk terdengar di seluruh ruangan sekolah. Itu pertanda pelajaran pertama yang paling di takuti oleh siswa-siswa di kelas 12 akan segera di mulai. Apalagi kalau bukan pelajaran matematika. Meskipun hanya angka, tapi bisa membuat kepala senut-senut bila memikirkannya. Di tambah gurunya galak parah. Clop sudah!"TENANG KAWAN, INI UJIAN. BILA GA BISA, NYONTEK AJA SAMA AIRA!!" Celetuk siswa yang lain.
"Heh, pala mu peyang! Makanya punya otak tuh di pake. Nyontek kok jadi andelan," sewot Zahra. Ya, Zahra adalah sahabatku. Kita satu kelas, bahkan duduk satu meja.
"Lah, apa kabar sama kamu?"
"Udah deh, Za. Jangan enak sendiri, bagi ngapa."
"Iya, Airanya aja biasa aja tuh! Kok kamu yang sewot!"
"Nyontek itu enak tauuu..." Riuh siswa-siswa yang lain. Sedangkan Zahra yang udah kesel sedari tadi, hanya bersungut-sungut mendengarnya.
"Aira." Seketika semuanya terdiam. Ibu Wati ternyata sudah masuk di kelas, yang entah sejak kapan.
"Iya, Bu."
"Kamu, ikut Ibu sebentar. Yang lain tolong jangan ribut!"
Akhirnya Aira mengikuti langkah Bu Wati. Kalau dari arahnya, ini seperti ke ruangan perpustakaan.
Ternyata benar dugaan Aira."Maafkan Ibu, Ra. Dengan terpaksa kamu ujian di sini. Karena Ibu khawatir yang lain akan menyontek hasil ujian-mu jika kamu berada di kelas. Ini yang terbaik buat kamu," papar Bu Wati.
"Iya, ga apa-apa, Bu. Aira ngerti."
"Syukurlah kalau kamu paham, Ibu tinggal ya, Ra."
"Iya, Bu." Aira menghela napas kasar, meskipun ia menerimanya.