BRAKKKK...
Sebuah motor yang berada di depan Aira tertabrak oleh pengendara motor yang lain. Sehingga sekuat tenaga laki-laki yang bersama Aira mencekam remnya agar tak mengenai benturan motor yang ada di depannya itu. Meskipun begitu, Aira yang berada di belakang pun memeluk erat tubuh sang laki-laki yang bersamanya itu.
"Astaghfirullah..." Pekik Aira. Ketika motornya telah berhenti.
Tak menyangka Aira akan mengalami kejadian yang mengerikan ini, kejadian yang tak bisa Aira lupakan.
Aira melihat seseorang laki-laki baya yang tergeletak tak bernyawa di jalanan, wajahnya penuh dengan lumuran darah. Aira mendekati sosok itu, di lihatnya dengan seksama. Sepertinya sosok itu tidak asing lagi bagi Aira, meskipun wajahnya penuh dengan luka.
'Tapi siapa dia?' pikir Aira.
Aira merasakan dadanya sangat sakit sekali, air matanya pun menetes tanpa Aira duga.
Kini warga pun mulai berdatangan untuk membantu korban. Sementara warga yang lain mencoba menghubungi keluarga dari sang korban tersebut. Sayangnya yang menabrak Bapak itu kabur entah kemana.
"Ra, ayo pulang!" Laki-laki itu mengajak Aira pulang. Namun aneh, Aira tak ingin pergi dari tempat itu. Rasanya ia ingin terus melihat wajah sang korban.
"Dia sudah di urus sama warga, Ra. Sebaiknya kita pulang sebelum malam tiba." Aira menurut patuh.
****
"Makasih sudah anterin pulang." Aira yang kini sudah berada di depan pagar rumahnya.
"Oke. Aku pulang," ucap laki-laki yang bersamanya siang tadi. Aira hanya mengangguk.
Setelah suara motor itu hilang, Aira segera masuk rumah. Namun sepertinya Papah belum juga pulang, karena rumah masih terkunci. Aira menepuk jidatnya, ia baru sadar kalau seharian ini belum ngabarin Papahnya. Buru-buru Aira mengecek hp-nya dan tertera Papahnya menelpon sebanyak 50 panggilan.
Tuttt...
Papah menelpon lagi. Segera Aira menggeser ke warna hijau."Halo, apa ini benar keluarganya Pak Hasan?" Deg. Aira kaget ternyata yang menelpon bukan Papahnya, melainkan seorang wanita.
"Iya, betul. Saya anaknya Pak Hasan. Maaf ini siapa yah?"
"Saya warga dari Durian Barat, tadi Pak Hasan mengalami kecelakan. Sekarang sudah di bawah di rumah sakit. Tetapi tas dan hp masih ada disini."
Seperti tersambar petir, baru saja Aira melihat seseorang yang kecelakan. Sekarang Papanya yang mengalaminya. Tubuh Aira kini gemeteran hebat.
"Iya, Bu. Saya segera kesana."
Untuk pertama kalinya, Aira akan membawa motor yang di berikan Papahnya, saat ulang tahun yang ke-17 itu. Aira mencoba untuk tidak mengingat kejadian saat ia terjatuh dari motor, ia berusaha untuk fokus dan secepatnya menemui Papanya. Dan kebetulan motor yang Aira simpan berada di gudang, sehingga ia bisa mengambilnya yang Aira mau. Karena kuncinya selalu ia bawa kemana-mana.
Sesampainya di Durian Barat untuk mengambil hp dan tas Papah. Aira langsung buru-buru ke rumah sakit. Dalam perjalanan menuju ke sana ada deringan telepon lagi, Aira yang sedang mengemudi pun segera menepikan motornya untuk mengangkat telepon itu.
"Aira, kamu dimana?"
"Aku lagi di jalan nih, mau ke rumah sakit. Emang kenapa, Nur? Ternyata yang menelpon Aira adalah Nur, tetangga Aira.
"Rumah kamu kebakaran, Ra. Tapi sudah di padamkan sama warga-warga yang lain. Di sini juga ada Pak Rt, untuk kronologis kebakarannya aku ga tau, Ra."
"Astaghfirullah... Kok bisa sih. Padahal rumah kan masih di kunci, ga ada siapa-siapa juga," ujar Aira.
"Justru itu, Ra. Pak Rt juga menduga ada yang sengaja membakar rumah kamu."
"Tapi aku ga bisa kesana dulu, Nur. Papahku lagi di rumah sakit," jawab Aira pasrah.
"Iya, Ra. Ga apa-apa. Memangnya Papah kamu kenapa?" Tanya Nur.
"Kecelakaan, Nur. Makanya aku ingin kesana. Oya, kamu tau dari mana kalau aku ga ada di rumah?" Aira baru kepikiran.
"Ya, Allah. Terus keadaan Pak Hasan gimana, Ra? Aku di suruh Pak Rt buat nelpon kamu, Ra. Soalnya pas rumahmu di dobrag, kamu sama Papahmu ga ada. Jadi, kata Pak Rt suruh hubungin kamu atau Pak Hasan. Ya, kan, aku punya nomor kamu aja, Ra. Heheh."
"Ohh, gitu.
Ya, udah, Nur. Aku pergi dulu yah. Soalnya aku juga belum tau keadaan Papah sekarang, baru di kabarin tadi.""Iya, Ra. Semoga Papahmu ga kenapa-kenapa. Aamiin..."
"Aamiin..."
Ujian yang Aira terima bertubi-tubi hari ini, rasanya Aira ingin teriak sekencangnya untuk meringankan beban yang Aira rasakan.
'Pah, sabar ya. Aira segera kesana,' lirih Aira.