Misterius

60 71 42
                                    

Aira menangis di sepanjang perjalanan, laki-laki itu entah akan membawa Aira kemana. Rasanya Aira sangat kesal dan takut menjadi satu. Di tambah Aira tidak terlalu mengenal cowok ini, tidak tau namanya, rumahnya, apalagi keluarganya. Setelah cukup lama Aira menangis, tiba-tiba Aira tersadar dan terbesit untuk menelpon sahabatnya.

'Ayo dong, Za. Angkat teleponku,' ucap Aira dalam hati. Sudah keberapa kali telepon Aira tak di angkat oleh Zahra.

"Ayo, turun!" Dia menyuruh Aira untuk turun dari motornya. Terlihat di depannya ada sebuah pohon, ayunan dan sungai yang sangat jernih. Pemandangan yang sangat indah. Seketika Aira tak fokus lagi untuk menelpon sahabatnya. Ia terkesima dengan tempat yang belum pernah ia datangi.

"Sebenarnya mau kamu apa? Kenapa aku di bawah kesini? Padahal aku saja tidak tau namamu," ucap Aira panjang lebar.

"Kamu benar-benar lupa sama gue?"

"Lupa? Memangnya kita saling kenal yah? Perasaan baru di perpus kita ketemu." Aira mulai merasa heran, sejak kapan Aira kenal dengan laki-laki yang bukan teman sekelasnya.

Dan tiba-tiba laki-laki itu memeluk Aira dengan erat, "Apa yang kamu lakukan? Lepaskan! Jangan macam-macam kamu yah!"

"Gue kangen sama kamu." Deg. Seketika Aira tak lagi memberontak. "Sejak kejadian itu kamu pindah sekolah dan tak lagi menemui gue bahkan ga pernah ngabarin lagi, gue ngerasa hidup gue hancur, Syah."

Setetes air mata menetes di bahu Aira. Isak tangis pun mulai terdengar di telinganya. Aira menjadi tak enak hati meskipun Aira sendiri tak mengerti yang di maksud laki-laki itu.

"Syah, pas ketemu kamu di perpus tadi pagi, gue kaget sekaligus seneng. Akhirnya kamu pindah lagi kesini."

"Syah? Namaku kan Aira." Aira sedikit bingung, karena sudah dua kali laki-laki itu menyebutnya dengan nama itu.

"Iya, kamu Syahira kan? Apa kamu juga lupa dengan nama kamu sendiri."

"Sejak aku lahir juga namaku Aira, bukan Syahira. Udah deh aku mau pulang, pasti Papah lagi nyariin aku."

"Tunggu! Apa kamu bilang? Hahaha... Sejak kapan kamu punya Papah, Syah. Coba jelaskan!" Laki-laki itu tertawa dan duduk di sebuah ayunan di pinggir pohon.

"Ya, sejak aku lahir. Aku hanya tinggal bersama Papah. Puas!" Aira kini marah, karena jika mengingat masalalu itu membuatnya kembali sakit. Aira sedemikian berusaha untuk tidak menangis apalagi mengatakan yang lebih jauh lagi tentang dirinya.

Sorot mata laki-laki itu menenangkan Aira. Meskipun napas Aira masih memburu karena marah.

"Jika kamu benar bukan Syahira gue, boleh gue liat tangan sebelah kiri kamu."

"Buat apa?" Tanya Aira memastikan.

"Sudahlah lakukan saja, gue ingin melihatnya." Aira pun akhirnya mendekati laki-laki itu dan memberikan tangannya buat memeriksa apa yang dia inginkan. "Ini ga mungkin."

"Apanya yang ga mungkin?" Aira semakin bingung di buatnya.

"Kamu ga punya tanda lahir di sini, tapi wajahmu mirip sekali dengan Syahira." Tangan laki-laki itu gemeteran hebat. Wajahnya mulai pucat pasih. "Baiklah, gue akan nganterin kamu pulang. Ayo!"

Satu langkah laki-laki itu berjalan, tubuhnya lunglai jatuh ke tanah, yang membuat Aira panik sejadi-jadinya. Ya, laki-laki itu pingsan.

****

Sudah dua jam yang lalu laki-laki itu pingsan dan baru sadar sekarang, Aira yang sudah kesemutan kakinya merasa bersyukur. Karena sejak dia pingsan, kepala laki-laki itu di pangku sama paha Aira. Mendung pun kembali menggunung, gerimis kini turun berjatuhan.

"Sebaiknya kita pulang sekarang, tapi kamu sudah ga apa-apa kan?" Laki-laki itu tak menjawabnya, ia pergi dan menghidupkan motornya. "Ngeselin banget sih, kalau ada yang nanya tuh di jawab."

"Mau pulang ga? Kalau ga, ya udah gue duluan." Aira pun berlari mengejarnya.

Selama perjalanan hanya keheningan yang menyelimuti kami berdua. Bersama guyuran air hujan yang membasahi. Namun tiba-tiba BRAKKKK...

AIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang