Malaikat Pelindung

30 27 19
                                    

Setelah sampai di rumah sakit, Aira langsung menemui Papahnya. Namun, Dokter mengatakan bahwa Papanya telah pergi. Tangis histeris pun yang bisa Aira lakukan. Aira tak menyangka akan kehilangan malaikat pelindungnya secepat ini. Ini seperti mimpi bagi Aira.

Dokter bilang kalau Papanya tak bisa di selamatkan, karena benturan di kepalanya sangat keras. Sehingga mengalami pendarahan yang cukup hebat. Itulah kalimat yang tak sanggup Aira dengar.

"Ini ga mungkiiiiinn..." Teriak Aira.

Jika saja waktu bisa di ulang, Aira ingin segera pulang ke rumah. Memeluk Papah, melihat senyumnya, dan bercanda ria lagi seperti dulu. Aira sangat menyesal, karena dirinya Papah begini.

'Tuhan... Kenapa Engkau mengambil malaikat hidupku? Padahal Engkau tau, aku tidak bisa tanpa Papah.' lirih Aira dalam hati.

Malam ini juga, Papah akan di semayamkan. Rasanya berat sekali melepaskan orang yang di cintai dalam hidup Aira. Karena sejak kecil, Papanya lah yang mengurus Aira hingga sekarang. Tapi, sekarang Papah sudah pergi.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, Aira menangis sambil memeluk Papahnya untuk yang terakhir kalinya. Di bandingkan mendengar rumahnya yang kebakaran, yang paling menyakitkan adalah kehilangan Papahnya.

"Pah, Papa yang tenang yah, di sana, Aira janji bakal sering-sering ke sini jengukin, Papah," ucap Aira sambil menaburi bunga di atas pemakaman Papahnya.

Lalu Aira pun pulang ke rumah, dilihatnya rumah yang di tempatinya itu dengan duka yang masih menyelimuti hatinya. Rumahnya sudah hangus bahkan atapnya mau roboh, yang tersisa hanyalah gudang saja. Aira menghela napas kasar.

'Ga apa-apa, seengganya masih bisa jadi tempat tinggal. Besok, aku akan bekerja di perusahaan Papah,' lirihnya dalam hati.

****

Kabar kematian Papah sudah menyebar di sekolah, serta guru-guru dan para siswa di sekolah pun telah mengetahuinya. Bela sungkawa terus di ucapkan oleh teman-teman Aira di kelasnya. Puji syukur, Aira mendapati teman yang baik, rela berbagi saat temannya sedang kesusahan. Contohnya saja Zahra, ia memberikan Aira sarapan. Sepertinya Zahra tau, Aira belum sarapan, karena biasanya yang menyiapkan adalah Papahnya Aira. Di tambah Aira pun tidak punya uang.

Teman-teman yang lain pun ada yang memberikan baju, uang jajannya, snack, bahkan ada juga yang memberikan bingkisan berupa boneka besar. Aira terharu dengan semua ini.

"Udah, Ra. Jangan nangis lagi yah. Nanti aku ikutan sedih," ucap Zahra yang kemudian memeluk Aira.

Teetttt...
Bel masuk pun berbunyi. Aira segera menuju ruangan perpus lagi, karena ujian masih berlangsung.

"Nih, buat kamu." Aira langsung menatap laki-laki yang ada di sampingnya.

"Kunci perpus? Maaf aku siswa di sini, bukan penjaga perpus. Kasih aja sama Mang Marno." Mang Marno adalah penjaga sekolah ini.

Pletakk..

Aira mengelus kepalanya yang kesakitan akibat ulah laki-laki itu, sambil memanyunkan bibirnya. "Sakit, tau. Ini kepala, bukan tong sampah!"

"Hahahaha.. sorry, aku sengaja."

"Dasar!!"

"Ya, lagian kamu bilang kunci perpus. Emang aku asistennya Mang Marno. Udah deh, nih buat kamu, itu kunci rumah. Sebenarnya itu rumah lama, cuma sayang aja kalau ga di tinggali. Jadi buat kamu aja."

"Maaf, aku ga bisa!" Ucap Aira.

"Kenapa?"

"Ya, kan aku ga kenal sama kamu. Bisa aja kan kamu jahat, mau berbuat yang engga-engga sama aku."

Pletakk..

Untuk yang kesekian kalinya pulpen itu melayang lagi di kepala Aira. Bukan karena laki-laki itu, tetapi guru pengawaslah yang melakukannya. Mau marah, marah bagaimana? Dia kan seorang guru.

AIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang