10. Hujan Tiba

17 13 1
                                    

Menurut Shalia, pagi ini lebih segar dan sejuk tak seperti biasanya. Hari Rabu yang indah dengan alunan kicauan burung yang cukup merdu saat Shalia membuka matanya untuk beraktivitas kembali. Ia nampak sangat segar dan baik kali ini. Ia selalu saja menampilkan senyum indahnya pagi ini.

Pertama-tama, ia lebih dulu mandi dengan air hangat. Setelah itu, ia memakai seragamnya dan bersiap-siap turun kebawah untuk sarapan bersama keluarganya. Ia berjalan dengan hati yang berbunga dan mood yang bagus sampai pada akhirnya, semua itu hilang dan diganti dengan wajah cemberut Shalia.

Ia kesal, sangat kesal karena mamanya tak menepati janji pada waktu itu. Seharusnya mamanya menyiapkan menu sarapan favorit Shalia hari ini, tapi entah kenapa malah menu kesukaan adiknya lagi. Ia kecewa, karena waktu itu mamanya berjanji akan membuatkan sarapan favorit Shalia jika nilai ulangan kali ini mendapatkan nilai yang paling terbaik. Tapi apa? Mamanya malah tidak memenuhi janji itu.

Shalia berjalan lesu untuk duduk di samping adiknya di meja makan. Ia memakan sarapannya dengan tidak mood. Ia tahu jika makan dengan seperti ini tidak boleh karena dianggap tidak bersyukur, tapi Shalia terlanjur berharap lalu sakit hati dengan mamanya.

"Nasi gorengnya enak, ma," ucap Tania dengan mulut yang penuh seraya menunjukkan jempolnya tanda enak.

Ida tersenyum lebar dan berkata, "Iya dong, mama gitu lho."

Ucapan Ida membuat suaminya dan Tania tertawa terbahak-bahak. Tapi tidak dengan Shalia, ia masih saja dalam mode bad moodnya.

"Masakan mamamu emang paling enak se-bumi. Kalian kalau sudah besar, belajar masak sama mama. Ya ngga ma?" Yoga nampak mengedipkan sebelah matanya ke arah Ida yang membuat Tania mual.

"Dih, inget umur, pa. Udah tua masih bucin aja, di depan anak-anaknya lagi. Kasian aku sama kakak masih jomblo, iya kan, kak?"

Shalia hanya membalas ucapan Tania dengan senyum tipis dan melanjutkan makannya kembali.

"Mukanya jangan gitu! Jelek."

"Iya nak, bener kata papa. Kalo pagi-pagi itu harus ceria kayak adekmu tuh."

Genggaman sendok Shalia semakin kuat, hatinya semakin sakit saat mendengar ucapan tersebut. Kali ini, ia sangat ingin pergi menjauh dari keluarganya.

Tak ada respon dari anak sulungnya, Yoga kembali berbicara, "Gimana sama ulangan kamu?"

"Cih, nilai mulu yang ditanya," gumam Shalia kesal.

"Shalia dapet nilai paling terbaik di kelas lho, pa. Terus Bu Sri juga bilang kalo Shalia itu anaknya pinter banget." Shalia bercerita dengan semangat tentang nilainya yang ia kira dapat memuaskan papanya.

"Bagus," balasan singkat dari Yoga mampu membuat Shalia kembali diam membisu.

Yoga mengucapkan hal tersebut dengan wajah datar dan tidak melihat Shalia yang bercerita sama sekali. Malahan, ia sibuk dengan ponselnya yang terus menampilkan notifikasi entah dari siapa.

Tania yang melihat perubahan wajah kakaknya merasa kasihan. Ia tak tahu kenapa papanya cukup cuek pada Shalia, padahal kakaknya itu bisa dibilang sempurna bahkan ia saja mengagumi sang kakak.

Dengan berpikir keras, Tania mendapatkan sebuah ide yang mungkin bisa membuat kakaknya semangat kembali.

"Ma, minta uang saku lebih dong hari ini. Plisss, aku lagi butuh banget nih ma," rayu Tania dengan wajah yang imut dibuat-buat.

"Ini, ambil aja." Yoga memberikan dua lembar kertas berwarna biru dan merah kepada anak bungsunya.

Tania mengambil uang itu dengan semangat dan memasukkannya kedalam tas. Shalia yang melihat tingkah adeknya hanya bisa diam termenung. Kemarin ia sempat meminta uang tambahan kepada papanya untuk membayar urunan membeli perlengkapan menghias kelas, tapi tidak diberikan dengan langsung seperti Tania. Alhasil, ia menggunakan uang tabungannya sendiri.

SHALIA MAEZZURA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang