2nd

574 68 17
                                    

Matamu memandang lurus ke arah rumah tetangga di samping kamar.

Sudah 3 hari berlalu semenjak kau mencegah seseorang bunuh diri di sana. Dan kemudian tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi yang kau tangkap setelahnya.

"Bagaimana kabarnya ya...?" kau bergumam sendiri, mengingat anak laki-laki yang mencoba bunuh diri tempo hari.

Sukurlah pada akhirnya dia mau menurutimu untuk tidak terjun dari atas balkon. Ancaman mu yang mengatakan akan melapor ke polisi lumayan ampuh untuk membuatnya kembali ke dalam rumah.

Ya, kembali dan tak pernah terlihat lagi.

"Aku harap dia baik-baik saja." gumam mu lagi.

Kau menutup gorden kamarmu, berpikir sudah cukup lama kau mengamati rumah tetangga dan keadaan gerimis di luar. Kini saatnya tidur bagimu yang mulai merasa nyaman pada suasana hujan.

Namun niat itu kau urungkan ketika sebuah suara ketukan terdengar. Asalnya dari jendela.

Kau lantas mengernyit heran. Bertanya-tanya apa dan siapa yang kira-kira sengaja mengetuk di jendela lantai 2 rumahmu itu.

"Apa ada orang yang melempar batu?"

Sreett

Pandanganmu langsung menyapu ke bawah, bertepatan dengan itu sebuah batu mengetuk kembali mengenai jendela di area wajah. Reflek kau mundur, terkejut.

Jika saja tidak ada kaca yang menghalangi, matamu pasti udah kecolok kena lemparan kerikil.

Kau lantas membuka jendela kemudian menunduk guna melihat sang pelaku di bawah sana.

"Ooii onee-san~"

Kau terbelalak, "Kamu!" seru mu sambil menunjuk ke arah si pelaku pelempar batu.

Si pelaku yang ditunjuk hanya tersenyum tanpa dosa di bawah sana, "Akhirnya onee-san muncul juga."

"Dasar bocah! Kau melempar batu untuk memanggilku ha?!"

"Yap tepat! Seratus untuk onee-san!" ucapnya riang, berbeda dari tempo hari yang lalu ia hanya mengeluarkan nada dingin dari bibirnya.

"Apa tujuanmu memanggilku, bocah?! Kau mau bunuh diri lagi?" tanya mu sarkas.

Si bocah pun menggeleng, "Tidak. Aku hanya ingin mengajakmu main."

"Hah? Main?"

Dia tersenyum lebar, mengangguk antusias lalu mengangkat kedua tangannya ke atas, "Ya! Ayo main hujan denganku onee-san!"


Dan di sinilah tempatmu sekarang. Di luar rumah dengan jas hujan dan sepatu boots yang melengkapi outfitmu.

Padahal hujan masih terbilang sangat kecil, tapi kau menyiapkan dirimu seperti tengah menghadapi hujan besar. Aish peduli setan dengan itu, yang terpenting kau tidak akan sakit setelah bermain hujan.

Kemudian kau pun berjalan mendekati si bocah yang mengajakmu tadi. Sekarang anak itu sedang asik bermain dengan genangan air hujan di area depan rumahnya tanpa mengenakan jas hujan.

Alismu pun menyatu melihatnya, segera kau mempercepat langkah kemudian menjitak dahi anak tersebut.

"Akh! Kenapa dahiku dijitak?!" protesnya padamu yang bersiap akan mengomel.

"Kau mau sakit ha?! Bocah sepertimu kenapa tidak menggunakan jas hujan?"

Si bocah pun memberenggut, "Onee-san kau cerewet sekali. Kau tidak perlu khawatir, aku tidak pernah sakit karena hujan." sanggahnya dengan bangga.

Kau mendengus, "Mana ada bocah sepertimu tidak sakit karena main hujan,"

"Asal kau tau, aku saja sering pilek bahkan flu setelah kehujanan. Apalagi kau yang masih bocah." lanjutmu tanpa sadar, menjelaskan sesuatu.

"Onee-san pilek?" tanyanya polos, kau mengangguk mantap namun sedetik kemudian matamu melebar.

"Di usia segitu onee-san masih ingusan?"

"Oh shi- kau mengejekku ha?!"

Si bocah lantas mengangkat kedua tangannya sebatas bahu seiring tubuhnya mundur beberapa langkah, "Aku tidak bermaksud, tapi sepertinya begitu HAHAHAA!!!" ejeknya kemudian menjauh dengan berlari dan tertawa.

Kau yang melihatnya hanya menahan kesal di tempat, lalu berbalik kembali ke rumah.

Bocah tengil yang berlari itu pun menyadari, kau ternyata tidak mengejarnya. Jadi, ia memutuskan untuk mengikutimu dari belakang.

"Onee-san, kau marah?" dia bertanya setelah kalian sampai di teras depan rumahmu.

Sedikit curi-curi pandang, bocah itu mencoba melihat raut wajahmu dari samping.

"Diam di sini." kau berujar dingin dan membuka jas hujan, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.

Si bocah bergeming, kebingungan. Tapi ia menurutimu untuk diam dan tidak kemana-mana.

Sembari menunggumu kembali, dia mengamati rumahmu yang berdesain campuran tradisional Jepang dan modern. Tidak jauh beda dari rumah lamanya yang ia sayangkan harus ditinggalkan.

Seandainya pekerjaan orangtuanya bukanlah mafia, ia sudah pasti akan menetap di sana.

"Oi bocah, kemarilah."

Ia terkesiap, kau telah kembali dengan sesuatu yang tidak asing di tangan.

Bocah itu pun mendekat "Jas hujan?" tanyanya.

Kau memilih tidak merespon, dan tetap mempertahankan ekspresi dingin agar bocah di depanmu ini tidak kabur.

Kemudian seperti yang ia duga, kau memakaikannya jas hujan. Tetapi dia tidak melawan, memilih untuk diam sembari memperhatikanmu yang fokus memasang ekspresi serius.

Tiba-tiba suara kekehan terdengar. Kau reflek memandang anak itu dengan kernyitan di dahi.

"Onee-san, kau berpura-pura bersikap dingin supaya aku menurut?" tebaknya, membuatmu mendelik terkejut.

"Apa terlihat begitu?"

"Sangat jelas di mataku." ucapnya mengukir senyum yang membuat kedua matanya menyipit lucu.

Kau mengerjap kagum. Anak ini terlihat seperti bukan bocah biasa. Ah... ini mengingatkanmu pada kejadian hampir bunuh diri itu.

Kau pun tergelak dan kembali berdiri tegak. Selesai memakaikan jas hujan dengan rapi di tubuhnya.

"Kau pintar juga ya, bocah."

"Aku bukan anak biasa onee-san, jadi jangan memanggilku dengan sebutan 'bocah'."

"Oh ya?" kau mengangkat sebelah alis, "Kau juga jangan memanggilku onee-san,"

"Namaku (Fullname). Panggil saja aku (Name), mengerti?"

Ia mengangguk singkat, "Haik, (Name)-san."

"Lalu... namamu?" tanyamu pada anak lelaki itu.

Sontak ia memandangmu. Dan tak lama kemudian, senyuman manis merekah di bibirnya.

"Dazai, namaku Dazai Osamu."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

─────────────

©Dlusi

𝐒 𝐔 𝐈 𝐂 𝐈 𝐃 𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang