7th [ last chapter ]

475 65 36
                                    

"Apa?! Saudara kembar?!"

Wanita berjas hitam yang tengah berdiri itu mengangguk singkat, lantas mengambil jeda setelah melihat reaksi tuan mudanya.

Dazai mengernyit serius, memikirkan informasi yang dijabarkan oleh bawahannya barusan.

Jadi saat itu (Name)-sama berulang tahun? pertanyaan yang sudah pasti jawabannya itu terngiang, membuatnya berdecak kesal atas dirinya sendiri.

Bagaimana bisa dia melewatkan hari spesial orang terkasihnya?

"Baka."

Sang bawahan tersentak.

"Bukan kau." ujarnya cepat.

Atensinya kembali pada lembar-lembar kertas di meja. Meski begitu ia meminta bawahannya untuk melanjutkan.

"Saudara kembarnya tewas di usia 9 tahun akibat kecelakaan lalu lintas. Tak lama setelah itu (Last Name)-san dengan kedua orang tuanya menetap di kota Tokyo, disana (Last Name)-san melanjutkan pendidikan. Hingga saat usia 14 tahun, (Last Name)-san kembali ke Yokohama, tinggal sendirian dikarenakan kedua orang tuanya bercerai."

Sang bawahan tiba-tiba terdiam. Dazai yang menyadari maksudnya pun mengangkat wajah.

"Apa hanya segitu informasi yang kau dapatkan, Dlusi-san?" intonasi Dazai terdengar seolah bisa membunuhnya saat itu juga, membuat si wanita dengan cepat membuka suara.

"Sebenarnya ada informasi lain yang saya dapatkan, namun saya tidak yakin akan kebenaran informasi ini."

"Maksudmu, kau mendapatkan rumor?" Dazai berdiri dari kursi, berjalan menuju jendela raksasa di belakangnya.

"Benar, Dazai-sama."

"Baiklah," Dazai menghela napas sejenak, "Sudah cukup, masalah rumor itu aku akan menanyakannya langsung. Kau bisa pergi sekarang, Dlusi-san."

Menunduk sesaat sebagai rasa hormat, Dlusi segera melenggang pergi sesuai perintah sang eksekutif muda.

Sementara Dazai hanya terdiam, membiarkan dirinya tenggelam dalam pikirannya sendirian.

Banyak hal melintas dalam otaknya setelah mengetahui beberapa fakta tentang dirimu. Terlebih mengenai ucapan mu di atap waktu itu, membuatnya mulai khawatir akan kemungkinan buruk yang bisa saja tidak disadarinya selama ini.

Lalu jika benar sesuatu terjadi dan dia benar-benar terlambat menyadarinya, Dazai akan menyesalinya seumur hidup.

"Ck, tepat tengah malam," alisnya berkerut memusuhi arloji di pergelangan tangan.

"Semoga tidak ada lagi misi setelah ini."

Yokohama, 19 Juni. 7:40 am.

"Untuk apa bernafas jika hanya tubuhku yang hidup." kalimat itu terucap, susah payah. Oleh bibir yang bergetar.

Perlahan hembusan nafasnya berhenti, melambatㅡ atau lebih tepatnya tertahan pada rongga dadanya yang terasa dihujam benda tak kasat.

Rasa sakit yang pernah diterimanya dari sang ibu pun dirasakannya lagi. Malah sekarang jauh lebih sakit. Sangat sakit sampai-sampai di detik itu juga ia menginginkan kematian menjemput. Namun apa daya, satu-satunya yang mampu diterima nalarnya hanyalah,

Ini bukan kenyataan.

"Ini hanya mimpi, ya kan? Dlusi-san?"

Wanita di belakangnya bergeming, tanda bahwa ia membantah. Dirinya tidak mungkin akan menyembunyikan kenyataan dan membuat anak 12 tahun itu terbelenggu. Dazai harus mengerti jikalau inilah kebenarannya.

Kebenaran bahwa gadis remaja yang ia kenal memiliki jiwa terhangat, menyimpan sisi kelam yang tidak tersentuh. Hingga membuatnya mengakhiri hidup, dengan banyak jejak penderitaan yang ia tinggalkan di tempat itu.

Kertas, coretan, buku-buku, serta ruangan yang berantakan. Membuktikan betapa frustasinya ia.

(Name) mencurahkan semua rasa sakitnya di sana, di lembar-lembar kertas yang berserakan. Dan Dazai meremat salah satunya, yang bertuliskan keputusasaan (Name) pada jiwanya yang mati.

"Apa karena ini kau tidak pernah membiarkanku melihat kamarmu, (Name)-sama?" Dazai bersuara lirih pada raga tak bernyawa yang ia turunkan.

Tali yang membelit leher dilepas, menyisakan bekas lilitan yang mengerikan untuk dilihat.

Dazai terisak. Setiap apa yang dilakukannya saat ini menjadi penyesalan baginya.

(Name) yang suram, (Name) yang murung, (Name) yang muak, (Name) yang menderita. Dazai tidak pernah tau itu semua.

Lagipula, Dazai bahkan tidak pernah peduli pada hal-hal sepele yang ternyata mengandung sebuah arti dari (Name).

Tinggal seorang diri, antisosial, orang tua yang tidak peduli, tidak suka celana serta kemeja, seorang kakak kembar laki-laki yang meninggal, lalu kamar yang selalu tertutup. Itu semua merupakan kepingan gelap milik (Name) yang tidak disadarinya.

(Name) membenci dunia.

Dunia yang awalnya menyenangkan untuk ditinggali sepasang anak, berubah seketika saat separuh dari mereka direnggut semesta.

(Name) yang merupakan anak perempuan mulai mendapatkan perlakuan berbeda. Seakan dirinya adalah sang kakak, orang tuanya menanamkan pemikiran bahwa dirinyalah pengganti si sulung.

'Hukuman' adalah kata yang mereka berikan. Agar (Name) terus mengingat yang harusnya mati ialah dirinya, bukan kakaknya yang berharga.

Hal itu membuatnya stress, sampai akhirnya ia memutuskan kembali ke kota kelahirannya sendirian.

Namun tinggal sendirian di Yokohama juga tidaklah mudah. Perundungan mulai terjadi saat rumor mengenai keluarganya tersebar di sekolah.

(Name) yang merupakan siswa berprestasi, nyatanya mendapatkan teman yang salah. Sahabat yang iri padanya menyebarkan rahasianya, menjadikan dirinya dirundung selama bertahun-tahun.

Biar begitu (Name) tetap bertahan sampai kelulusan tiba. Ia berharap semua rantai dari orang tuanya terlepas pun ia dapat hidup mandiri setelahnya.

Nahasnya kenyataan tak seindah harapan.

Wanita yang melahirkannya kembali memberikan tamparan keras, menyuruhnya bangun dan menjadi budak untuk mereka.

Menikah adalah jalan yang mereka ciptakan. Pastinya hal itu sangatlah gila, sebab ia harus menikahi sesama jenis yang sama sekali merupakan penyimpangan baginya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Dazai meremat kertas bercoret yang dibacanya, ia sungguh kesal sampai ingin menembak kedua orang tua (Name). Terlebih ibunya itu, (Name) menggambarkan ibunya sebagai monster di mata Dazai.

Menenangkan diri sesaat, dia kemudian melanjutkan lembar terakhir dari buku tersebut.

Matanya mendelik, terkejut dengan kalimat terakhir di sana.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Namanya, disebutkan oleh si pemilik buku sebagai seseorang yang harus terus menjalani hidup. Tidak seperti dirinya, menyerah lalu memilih melepaskan asa pada dunia.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Rintik-rintik mulai berjatuhan, bersama butiran air mata seorang anak yang duduk di depan sebuah nisan.

Dazai Osamu, menutup buku di tangan. Menatap sendu pada batu berukir sebuah nama yang spesial, ia lantas menyunggingkan senyuman tipis. Seakan menjawab lembaran terakhir dari buku itu kepada pemiliknya langsung.

"Aku akan bertahan hidup, (Name)-sama."
































"Dazai Osamu. Bocah tetangga itu tidak boleh mati seperti ku, ya kan? Diary?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

─────────────
©Dlusi

𝐒 𝐔 𝐈 𝐂 𝐈 𝐃 𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang