Semenjak main hujan hari itu, kalian menjadi akrab meskipun berbeda usia. Selayaknya kakak-beradik, kau menganggap Dazaiㅡ si bocah bunuh diri, sebagai seorang adik laki-laki.
Sedangkan Dazai? Entahlah, dia masih terombang-ambing mau menganggap mu apa. Antara teman atau seorang kakak, Dazai tidak tau.
"(Name)-san, apa kita berteman?" tanyanya setelah pemikiran mengenai status tiba-tiba melintas di otaknya.
Kau yang awalnya fokus memakan semangka kini beralih menatap Dazai yang duduk di samping.
"Apa menurutmu begitu? Kalau aku sih menganggap mu seperti adikku sendiri." jawab mu, kemudian menggigit kembali potongan semangka di tangan.
"Adik ya? Kenapa rasanya aneh..."
"Uhuk!" kau sedikit tersedak oleh perkataannya yang berkataㅡ
"Aneh?" ulang mu dengan intonasi yang tidak ramah.
"Oh aku tau! Aneh karena kau tidak mau punya nee-san sepertiku, kan?"
Dazai berkedip, menyaksikan dirimu yang tengah bersemangat menyampaikan pendapat yang menurutnya berbeda dengannya.
"Ha! Kau memang anak yang kejam dan tidak bermoral. Bunuh diri saja sudah pernah hampir kau lakukan."
"Kejam?" sekarang giliran ia yang mengulang.
Kau mengangguk, "Iya, kau kejam. Bahkan kau sering membuatku kesal, kau tau?!"
Dazai memandang mu sejenak kemudian mengambil gigitan pada semangkanya, "Kalau itu aku tau. Aku sengaja membuat (Name)-san kesal." lolosnya santai tidak peduli pada matamu yang telah menukik tajam.
"Dasar bocah! Kau dilarang main ke sini lagi!"
"Ya sudah. (Name)-san dilarang melihat kamarku lagi."
"Hah? Kamarmu?!" alismu mengernyit. Namun, sedetik kemudian kau mengerti, "Oh yang di samping kamarku itu kamarmu?"
Dazai mengangguk, "Hm hm!" gumamnya dengan semangka penuh di mulutnya.
"Cih, pemilihan tempat bunuh diri yang buruk. Jatuh dari balkon kamar sendiri? Apa tidak ada yang lebih luar biasa apa." ucapmu rendah namun nyatanya Dazai masih bisa mendengarnya.
"(Name)-san menyuruhku bunuh diri dengan luar biasa?"
Spontan kedua matamu melotot, "Bukan begitu!"
"Kau ini, masih 12 tahun tapi sudah mau mati," kau memijat pangkal alis mu, frustasi.
"Apa kau punya masalah hidup yang berat hah sampai kau mau bunuh diri?"
Dazai diam membisu mendengar pertanyaan mu. Dia tidak tau harus menjawabnya bagaimana.
Sementara kau yang menyadari itu pun membuka suara, "Kalau kau tidak mau cerita tidak apa-apa,"
Lantas Dazai kembali menatapmu dari samping, menunggu kelanjutan dari kalimat yang kau ucapkan sembari mengamati apa yang kau lakukan.
Tapi lama-lama ia jadi menikmati pemandangan di depannya. Yakni kau yang melihat ke atas langit, dimana dedaunan diterbangkan angin musim panas.
Suasana tenang tiba-tiba hadir, menjalar memasuki rongga dada kalian berdua.
Damai, rasanya sangat damai. Kalian merasakan perasaan damai bersamaan, dengan alasan yang berbeda.
Kau tersenyum kemudian melanjutkan, "Tapi kau harus tau. Jika kau lelah, ada aku yang akan membantumu," lalu melihat Dazai yang sejak tadi terpaku.
"Kau bertanya apa kita berteman kan? Ya, tentu saja kita berteman, Dazai-chan."
Semburat merah tipis tercipta di kedua pipi Dazai. Reflek, anak itu menyembunyikannya dengan memalingkan wajah.
Wah, dipanggil dengan embel-embel chan olehmu ternyata sangat berdamage. Hingga membuat pipinya memanas, bahkan jantungnya sampai berdegup kencang.
Ini memalukan! Batin Dazai, menjerit meminta jantungnya berhenti berdetak.
Jangan sampai (Name)-san mendengarnya jangan sampai (Name)-san mendengarnya jangan sampai (Name)-san mendengarnya, rapal Dazai terus menerus sembari memejamkan mata.
"Dazai-chan? Kau baik-baik saja?"
Gawat. Wajahnya semakin memanas.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ─────────────
©Dlusi
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒 𝐔 𝐈 𝐂 𝐈 𝐃 𝐄
Fanfiction"Untuk apa bernafas jika hanya tubuhku yang hidup." 19/05/22 - 19/06/22 ───────────── #stop_plagia(t)risme