"Serius? Danuar Adinata?" Diego hampir mengeluarkan kembali minuman yang baru diminumnya. Setelah bercerita tentang pertemuannya dengan orang tua Jessica kemarin, ia mempersilahkan Namira untuk mencurahkan juga ceritanya. "Terus, kalian baikan?"
Di sebelah mereka ada Maudy, teman SMA Namira yang juga ia undang untuk makan siang bersama sekaligus pertukaran cerita kali ini. Ia mendesah, memukul tangan Diego menggunakan sumpit sushi-nya. "Nggak lah! Danuar nggak berhak dimaafin semudah itu."
"Tapi 'kan lo tahu sendiri kelakuan temen lo ini, Dy. Dia tuh baiknya naudzubillah, pasti gampang banget maafin."
"Kalau dalam case ini, itu bukan baik hati lagi, tapi bulol."
"That's right!"
"Jadi gimana, kalian baikan nggak?" Maudy beralih pada Namira yang sedari tadi malah sibuk menusuk-nusuk sushi-nya.
"I don't know," jawabnya pelan.
Karena memang benar adanya, Namira juga tidak tahu harus disebut seperti apa pertemuan mereka tadi pagi. Jadi daripada ia menyimpulkan sendiri dan berakhir sakit, tidak tahu adalah jawaban terbaik. Atau mungkin, Namira memang tidak mau menyimpulkan, tidak mau terlalu larut memikirkan dan kembali jatuh lagi.
Diego memundurkan tubuhnya, bersandar penuh pada kursi."Kalau Namira udah bilang 'i don't know' tuh mencurigakan."
Maudy mengikuti gelagatnya, diikuti dengan kedua tangan yang dilipat di dada. "Benar. Biasanya dalam kamus Namira Aylana, 'i don't know' adalah nggak mau jawab."
"Exactly, girl."
Namira menyimpan sumpitnya dan berdecak, memilih membuka ponselnya dan beralih pada dunia lain daripada harus terus meladeni dua orang yang tidak pernah kehabisan bahan ejekan. Entah sudah berapa puluh kali Namira melenguh hari ini, tetapi kali ini Namira benar-benar ingin sekali mengeluarkan seluruh napas di tubuhnya saat melihat layar ponsel.
[Ada yang nunggu nih, cepetan balik, ya.]
Itu pesan dari teman sekantornya, Dini. Ah, padahal niatnya akan langsung pulang setelah ini. Jadi setelah melenguh keras, ia menarik tasnya dan pergi, membuat kedua tukang gosip di sebelahnya menyipitkan mata.
"Gue curiga itu Danuar habis wa dia, makanya dia langsung pergi gitu," kata Maudy yang matanya masih menyipit kala mengikuti arah Namira pergi.
"Bisa jadi."
Sedang dalam langkah besar-besarnya yang kian menjauh, Namira menghela napas saat mendengar teman-temannya menyimpulkan. Kalau pun memang apa yang dikatakannya benar, Namira tidak akan langsung pergi menghampirinya, melainkan pergi menjauh.
Ia memasuki mobilnya yang diparkir tepat di depan pintu masuk restoran sushi. Lalu dalam beberapa menit setelah sabuk pengamannya terpasang, ia hanya diam. Sebuah lagu Sisa Rasa milik Mahalini dari radio yang ia nyalakan mengisi seisi mobilnya, juga menyeruak masuk ke dalam kepalanya. Ia bertanya keras, mengapa harus lagu ini yang terputar?
Ia pernah merasakan dengan jelas bagaimana sulitnya saat mereka baru saja resmi berpisah. Ia juga bertanya-tanya, akan bagaimana kedepannya tanpa Danuar? Lalu ditemani kepingan-kepingan kenangan lamanya, Namira melajukan mobilnya untuk kembali menuju kantor. Setidaknya walau tidak sepenuhnya teralih, dengan ini Namira bisa membagi fokusnya, dan pelan-pelan melupakan itu semua.
Sekitar sepuluh menit setelahnya, setelah lagu menyakitkan itu berganti dengan nada-nada ramah dari penyiar, Namira akhirnya sampai. Tidak lagi membuang waktunya untuk kembali murung, ia langsung turun dan masuk. Sudah sejak dulu sekali Namira benci parkiran bawah tanah—sebab menyeramkan. Namun, kini parkiran ini terasa lebih menyeramkan saat matanya menangkap figur lelaki yang baru keluar dari lift, dengan mata sendu dan tubuh yang lemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang
BeletrieIni tentang pulang dan kepulangan, diinginkan dan tak diinginkan, asing dan terasing, lepas dan melepaskan, kembali dan mengembalikan. Ini tentang Danuar, laki-laki penggemar kepingan piringan hitam padahal ia tidak punya gramofon-nya. Ini juga tent...