Perihal kepulangan, Namira akui bahwa ia membencinya. Maka dari itu, saat orang tuanya memutuskan untuk tinggal di tempat neneknya berada, Namira memilih menetap di Jakarta. Baginya, kepergian bukan sesuatu yang bisa dikembalikan, kepulangan hanya membuat beberapa hal malah semakin terasa tidak menyenangkan.
Namun, pepatah menjilat ludah sendiri bukan diciptakan tanpa alasan. Karena kini, ia seperti memohon dengan sangat pada Danuar untuk kembali pulang, menemaninya lagi seperti dulu. Seolah kepergian yang dilakukan Danuar dulu bukan sesuatu yang menyiksanya, ia malah meminta untuk disakiti lebih banyak.
Kini, di sebuah kafe es krim langganan mereka dulu, Namira menikmati pemandangan bagaimana Danuar terlihat bahagia dengan es krim rasa karamel yang baru pertama kali dicobanya. Katanya ini untuk permintaan maaf, untuk pengulangan acara pendekatan.
“Udah bertahun-tahun masih suka es krim vanila, Ay?” Danuar bertanya sebelum kembali memasukkan suapan es krim ke mulutnya.
Namira tersenyum. “Vanila akan selalu jadi yang terbaik.”
Entah di mana salahnya, Danuar merasa tidak nyaman dengan jawaban Namira. Ia merasa disindir. Seperti dari kata-katanya, Namira dengan gamblang mengatakan bahwa dirinya setia, sedang Danuar tidak.
“Kamu nggak kerja?” Karena itu, Danuar berusaha mengalihkan topik sejauh mungkin.
“Cuti.”
Ada senyum terpaksa yang Danuar sunggingkan. Ia menerka-nerka apa ada alasan lain saat Namira menolak untuk mengurus pernikahan kakak sepupunya. Dipikirnya, hubungan mereka sudah membaik, sudah cukup menjadi alasan bagi Namira untuk menerima tawarannya.
“Kenapa?”
“Diego mau nikah, aku diminta untuk bantu WO-nya.”
Dan walau diberi jawaban yang cukup, Danuar belum juga merasa lega.
“Kakak sepupu kamu udah dapet WO lain?” Namira menopang dagu di meja, menggeser cup es krimnya menjauh.
“Belum tahu, dia udah balik ke Makassar,” jawab Danuar lemas. “Kamu udah mau handle punya dia?”
Walau banyak harap yang Danuar berikan, tetapi Namira menggeleng dengan wajah penuh senyuman. “Nggak.”
Namira memang hebat—itu diakui oleh rekan-rekan kerjanya. Namun, Namira tidak pernah benar-benar hebat dalam masalah perasaan. Hubungan mereka sudah membaik, tetapi tidak bagi hatinya.
“Ada banyak hal yang belum selesai, aku nggak berani,” lanjutnya.
“Kalau belum selesai, berarti harus diselesaiin, 'kan?”
“Sayangnya aku nggak mau.”
Tanpa jawaban lain—karena Danuar tidak bisa lagi menjawab. Maka setelahnya, Namira memilih untuk menghabiskan es krimnya sembari memandangi taman luas di sebrang kafe. Danuar cukup pintar, ia tahu itu. Maka untuk perkataannya barusan, diyakininya bahwa lelaki di depannya itu pasti akan mengerti.
“Aku masih akan terus berharap. Aku akan tunggu.”
Namira menoleh hanya untuk mendapati Danuar yang menatapnya. Es krim yang tadi terlihat sangat ia nikmati dibiarkan meleleh. Kata-katanya bermakna ambigu, Danuar seperti menyampaikannya untuk maksud lain.
“Aku masih punya mimpi untuk pergi ke Amsterdam, Nu,” kata Namira tiba-tiba. “Jadi aku nggak mau mengorbankan satu-satunya sumber penghasilan aku untuk kamu.”
Danuar hanya diam, tidak mengerti. Ia mungkin lupa tentang mimpi Namira sejak dulu, tetapi Namira menatapnya seolah berharap bahwa Danuar masih benar-benar mengingatnya. Maka dari itu, ia tidak memasang wajah kebingungan sama sekali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang
Ficción GeneralIni tentang pulang dan kepulangan, diinginkan dan tak diinginkan, asing dan terasing, lepas dan melepaskan, kembali dan mengembalikan. Ini tentang Danuar, laki-laki penggemar kepingan piringan hitam padahal ia tidak punya gramofon-nya. Ini juga tent...