2. Lampu Kuning

53 10 14
                                    

Di sebuah kafe yang khusus menjual perkopian, Namira duduk kikuk dengan Danuar yang juga duduk di depannya. Seingatnya, ini kafe yang dikatakan bosnya untuk ia bertemu klien baru, bukan untuk mengenang kenangan lama. Ia juga datang ke meja yang tepat dengan yang dijanjikan, tidak ada tanda-tanda kesalahan di sini.

Namun, mengapa malah Danuar yang duduk di depannya sekarang?

“Kamu ... kamu yang mau bahas soal pernikahan?” Pelan-pelan Namira bertanya, sekaligus memberi hatinya waktu lebih untuk sebuah jawaban.

Namun, di luar dugaan, Danuar menggeleng kuat. “Aku gantiin kakakku aja, Kak. Dia katanya dateng telat.”

Namira mengangguk mendengarnya. Bukan kepuasan akan jawabannya, bukan. Ia memang cukup lega, tetapi mendengar bagaimana Danuar kembali memanggilnya dengan sebutan 'Kak' seperti kala pertama kali mereka berbincang, Namira merasa bahwa semua di antara mereka sudah selesai.

“Kak Ay, apa kabar?” Hingga hanya pertanyaan itu yang tersisa di dalam kepalanya, Danuar mengiringinya dengan senyum kecil.

Ay, dari Aylana. Namira yang awalnya berusaha tidak menatap mata yang dulu ia puja-puja, setelahnya dengan refleks menatapnya. Walau diawali dengan garis pembatas, setidaknya panggilan Ayla masih Danuar sematkan.

Benar, hanya Danuar yang memanggilnya Ayla, dan Namira tidak akan kuat dengan itu.

“Baik, Nu,” jawabnya. Ia menimang-nimang sebentar sebelum kembali membuka suara. “Kak Jeslyn yang mau nikah?”

Jelas Namira tahu Jeslyn. Karena empat tahun bukan waktu yang ia anggap kurang untuk mengenal silsilah keluarga Danuar. Sehingga dalam pertanyaannya tadi, ia cukup percaya diri—walau Danuar menggeleng.

“Bukan, kakak sepupuku yang mau nikah. Dia cuma mau konsultasi dulu karena lihat feed sosial media kalian menarik. Katanya dia punya rencana bikin resepsi di luar kota, makanya dia mau tanya dulu kalian bisa atau nggak.”

“Ah, gitu.” Namira menunduk, memilin jarinya sembari lagi-lagi berpikir. “Soal lokasi, bisa kita atur kok, Nu. Tapi mungkin untuk siapa yang handle, kayaknya bukan aku.”

Kali ini, mata Danuar menyiratkan sedikit kekecewaan. “Padahal pas tahu kamu yang ketemu sama kakakku hari ini, aku udah ngabarin dia kalau dia pasti nggak akan kecewa. Dari dulu, kamu emang sehebat itu, 'kan?”

“Terima kasih untuk kepercayaan kamu soal itu, tapi aku benar-benar nggak bisa.”

“Kenapa?”

“Karena aku akan sering ketemu kamu.”

Jawaban cepat dari Namira disambut dengan Danuar yang mematung. Walau jantung keduanya berdegup kencang sekali, tetapi tegaknya duduk mereka masih sama. Seolah hanya dengan itu, mereka menunjukkan bahwa mereka baik-baik saja tanpa satu sama lain.

“Mungkin bagi kamu itu bukan masalah besar, tapi nggak bagi aku. Aku berusaha keras untuk lepasin kamu selama dua tahun ini dan saat aku mulai berhasil, aku nggak mungkin biarin kamu malah buat itu untuk melekat lagi, Danuar.” Namira melanjutkan. “Kakak sepupu kamu berhak dapet WO yang lebih baik dari aku yang mungkin nanti akan bawa perasaan dalam pekerjaan. Aku bukan orang yang bisa pisahin itu, aku juga manusia, Nu. Harusnya kamu tahu itu, 'kan?”

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang