4. Ah, Ditinggal Lagi

50 8 12
                                    

Kue ape dan segelas wedang jahe menjadi menu utama di atas terpal biru yang dijadikan alas duduk. Aspal yang basah selepas hujan masih terus memberi cipratan air kala kendaraan melewatinya. Dan di bawah tenda sederhana milih penjual wedang, Namira dan Danuar duduk bertemani canggung.

Setelah kejadian di basement beberapa hari lalu, Namira akhirnya mengiyakan ajakan Danuar untuk pergi ke luar berdua. Sebab dalam benaknya, Namira juga berpikir bahwa ini tidak mengapa. Salahnya juga meminta agar Danuar jangan pergi, maka Danuar harus benar-benar ia jaga.

"Dulu, aku sering nongkrong di sini sama anak-anak." Danuar membuka suara sembari menyobek kue ape-nya.

"Oh ya?"

Anggukan menjadi jawaban pertama yang diberikan setelah ia menyuap kuenya. Matanya masih sibuk memperhatikan jalanan, sedang Namira berusaha merekam dengan baik segala yang Danuar lakukan kini.

"Dulu di sebelah penjual wedang ini ada yang jual miras, makanya anak-anak betah di sini," katanya hanya untuk menerima pukulan di lengannya.

"Kata aku dari dulu jangan mabok!"

Yang dipukul meringis, mengusap lengannya yang terasa kebas. "Aku nggak pernah mabok, Ay. Suer!" sanggahnya dengan dua jari terangkat.

"Temen-temen SMA kamu tuh pada nggak bener, Danuar. Dari dulu juga kubilang jangan lagi gaul sama mereka, tapi kamu nggak pernah nurut." Namira merengut.

Namun, Danuar malah tersenyum lebar. Melihat bagaimana Namira masih ingat tentang itu, Danuar merasa spesial. Hingga ia sadar setelahnya; bahwa mungkin hanya Namira yang ingat bagaimana kenangan lama itu terjadi, sedang ia tidak.

Danuar memang brengsek, teman-teman.

"Temen kamu itu, Ay, siapa namanya? Diego?" Danuar menjeda untuk melihat Namira mengangguk. "Kamu kenal dari mana?"

"Temennya Maudy, temen SMA aku. Mereka katanya temen masa kecil gitu sebelum Maudy pindah ke komplek deket rumah. Berkat Maudy kenalin aku sama dia juga aku bisa kerja di kantorku sekarang."

Danuar mengangguk, menyimpan rapat-rapat penjelasan itu dalam kepalanya. Ia takut jika banyak hal-hal buruk di masa lalu yang terjadi lagi, tentang kecemburuan-kecemburuan buta yang menghancurkan segalanya.

"Kalo cewek yang kemarin kamu gandeng itu siapa?"

"Itu kakak sepupu yang mau nikah itu loh, Ay. Dia sepupu dari Papa makanya mungkin kamu nggak pernah liat."

Kali ini, Namira yang mengangguk. Cukup lama setelahnya mereka kembali diselimuti sunyi, sebelum Danuar merogoh ponselnya dan termenung sendiri. Pukul 20:30 tepat dan di tempatnya duduk, tubuhnya terasa kelu. Lagi-lagi, Danuar meninggalkan sesuatu untuk mengejar sesuatu.

"I think i got to go, Ay. Is that okay?"

Namira mengangguk. "Ada apa?"

"Nggak, ini bukan sesuatu yang penting kok. Kamu pulang sendiri nggak pa-pa? Atau mau aku pesenin ojek online?" tanyanya dengan tangan yang sibuk memakai jaket dan membereskan barangnya.

Melihat Danuar panik, Namira menjawabnya dengan gelengan. "Kalau buru-buru, kamu langsung pergi aja. Nggak usah pikirin aku, Nu. Aku bisa telpon Maudy atau Diego buat jemput nanti."

Danuar menurut, ia segera pergi setelah menaruh uang di atas meja penjual wedang. Di bawah gerimis kecil yang masih terus turun, Namira ditinggalkan sendiri bersama kue ape yang masih tersisa banyak, juga hatinya yang entah mengapa malah kembali terasa berantakan.

Ah, ditinggal lagi.

Ia mendesah, mengusap kasar wajahnya. Hatinya bimbang. Ia takut kalau-kalau ternyata pilihannya salah; kembali dengan orang lama. Di pikirannya sudah berakar tentang hal ini, tentang penyesalan-penyesalan yang bisa saja muncul nanti. Tentang bagaimana ia dulu disakiti, tetapi hatinya seolah kecanduan akan itu. Dalam diam, Namira merutuki dirinya sendiri.

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang