4. ANINDIA

34.4K 1.5K 33
                                    

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, berusaha menenangkan jantungnya yang berpacu. Dibuangnya rasa takut. Ia harus melakukannya. Ini yang pertama baginya. Seharusnya jika ucapan Mami Heni benar, ia akan baik-baik saja.

Pelanggan pertamanya itu menurut informasi Mami Heni adalah seorang pria berusia tiga puluh tujuh tahun yang mempunyai kelainan. Mami Heni bilang pria itu merupakan salah satu langganannya. Entah sudah berapa kali pria itu memesan wanita untuk memancing hasratnya, tapi menurut cerita anak buah Mama Heni tidak satupun dari mereka yang bisa membangkitkan gairah pria itu.

Impoten. Itu menurut para anak buah Mami Heni yang pernah melayani pria pelanggan pertamanya ini. Perempuan itu lagi-lagi menarik nafas dalam-dalam. Semoga lelaki itu benar impoten, doanya dalam hati.

Tangannya terangkat mengetuk pintu hotel bintang empat, tempat pria menunggunya.

Tidak menunggu lama, pintu terbuka.

"Ya?"

"S-saya Anindia... Mmmm... Mami Heni menyuruh saya kemari untuk-" belum sempat Anindia menyelesaikan kalimatnya, pria itu sudah menariknya masuk dan mengunci pintu.

"Kamu tentu sudah tau keadaan saya dari Heni," kata pria itu.

Anindia mengangguk. Jantungnya nyaris copot ketika pria bernama Ranu Sakala itu menariknya tadi.

"Saya sudah memeriksakan diri, kata dokter, saya sehat. Hanya trauma saya yang membuat saya begini," entah kenapa, Ranu dengan ringan menceritakan keadaannya pada Anindia. Padahal dengan wanita lain, Ranu tidak pernah mau repot menceritakan apa yang dialaminya.

"Memangnya Bapak trauma kenapa?"

"Panggil Ranu saja," ujar Ranu duduk di tepi tempat tidur dan memberi isyarat Anin untuk duduk di sebelahnya.

"Saya tidak bisa. Usia Bapak kan jauh di atas saya," tolak Anin sopan.

"Berapa usiamu?"

"Dua puluh satu," jawab Anin jujur.

"Tapi saya tidak mau kamu memanggil saya Bapak."

Anin berpikir beberapa saat.

"Kalau begitu, bagaimana dengan Om?"

"Saya tidak suka," geleng Ranu.

Anin meringis, mencoba mencari panggilan lain yang pas untuk pria di dekatnya ini.

"Hmmm... kalau Mas boleh?"

Ranu tersenyum mengangguk setuju.

"Bagus! Sekarang, bisa kita mulai?" tanya Ranu menatap lekat Anin.

Jantung Anin berdebar keras. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Berulang kali ia berusaha menguatkan hatinya, semua demi kesembuhan ibunya. Tidak mudah mencari uang begitu banyak dalam waktu singkat. Hanya ini yang bisa ia lakukan. Menjual dirinya demi kesembuhan ibunya adalah pilihan terbaik yang bisa diambilnya saat ini.

Perlahan Anindia menganggukkan kepalanya.

Ranu menggeser duduknya lebih merapat. Diraihnya tengkuk Anin sambil mendekatkan wajahnya. Perlahan ia menempelkan bibirnya ke bibir Anin, berharap ia tidak muntah.

Menyadari ia baik-baik saja, bibir Ranu mulai bergerak. Lidahnya membelah katupan bibir Anin dengan jantung berdebar. Satu kemajuan, Ranu tidak mual sedikitpun.

Anin mencengkeram gaunnya ketika Ranu semakin intim menciumnya. Lidahnya mengait lidah Anin dan menguasai rongga mulut gadis itu. Jantung Anin berdebar keras.

Ranu semakin penasaran dengan reaksi tubuhnya. Perlahan tangannya berpindah ke dada perempuan muda itu, meremas lembut.

Anin terkesiap merasakan desiran halus yang membuat area intimnya berdenyut. Tanpa sadar ia mengerang pelan.

The 'A' One Shoot StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang