Happy reading!
•••
DUA hari berlalu. Matahari pagi sudah mulai memasuki jendela milik gadis itu, sehingga tepat berada pada bola mata yang masih menutup. Gadis itu masih terbalut selimut yang terbaring di atas kasurnya.
"Nara, turun!" teriak Andriano dari lantai bawah.
"..."
Tidak ada jawaban. Gadis itu semakin terlelap ke alam mimpi.
"Nara!!"
Masih tidak ada jawaban.
KRINGG... KRINGG... KRINGG...
"Engghh..."
Gadis itu menoleh ke arah jam dinding. Arah jarum pendek mengarah pada angka enam dan jarum panjang pada angka yang sama. Itu artinya, tiga puluh menit lagi, gerbang sekolah akan ditutup. "ASTAGA GUE TELAT!!" teriak Naralisha dengan mata yang membulat sempurna.
Naralisha terlambat. Dengan cepat, ia bergegas menuju kamar mandi, memakai seragam, dan bersiap untuk berangkat ke sekolah.
"NARA!!"
Panggilan itu membuat Naralisha tersentak dan cepat keluar dari kamarnya. "Iyaa, sebentar!" ucapnya dengan langkah yang tertatih-tatih, mencoba mengimbangi tubuhnya yang mungil itu.
"Cepat! Satu..."
Ya, itulah kebiasaan yang Andriano selalu tetapkan di rumah Naralisha. Menghitung sampai orang yang dipanggilnya datang. Walaupun terdengar ketat, tetapi Naralisha sudah terbiasa dengan hal seperti itu.
Gadis itu tahu, beliau melakukannya agar bisa menjadi orang yang disiplin dengan waktu. Karena waktu sangat berharga.
"Nara, cepat turun! Dua..."
"Tig-" ucapan Andriano terpotong oleh balasan dari Naralisha yang tengah menuruni anak tangga dengan napas terengah-engah. "Iya, Pa. Nara udah turun, nih."
Andriano menatap heran putri nya itu. "Loh, kenapa kamu?"
"Nara telat bangun, Pa. Tadi buru-buru keluar kamar."
"Ah, itu sih salah kamu sendiri. Papa sudah bangunkan kamu dari tadi, tapi masih aja tidur," ucap Andriano seraya mendekap tangannya di dada. "Kamu nggak lupa, kan? Di Jakarta setiap hari macet, Ra."
Wajah gadis itu tertunduk. "Iya Nara minta maaf, Pa."
"Ya sudah, cepat berangkat. Jangan sampai telat! Atau uang jajan kamu Papa potong bulan depan."
"Ishh, Nara gak disuruh sarapan dulu, gitu?" ucapnya heran.
"Tidak usah, nanti saja. Bi Aira sudah siapkan bekal untuk kamu di sekolah," Andriano memberikan bekal kepada Naralisha. "Nih, jangan lupa dimakan," wajahnya datar. Seperti biasa, selalu datar.
Naralisha memutar bola matanya dengan malas. "Ya udah deh, makasih Pa."
"Iya, dianter sama Pak Sandi, ya! Beliau sudah nunggu kamu tuh di depan."
"Nara berangkat ya. Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumussalam, hati-hati!"
•••
Hari ini, jalanan di kota Jakarta terlihat padat sekali, seperti biasanya. Siapa yang tidak tahu di Jakarta memang sangat macet? Berbeda dengan kemarin, hari ini Naralisha diantar oleh supir pribadi keluarganya menggunakan mobil.
"Eh, neng Nara. Sudah siap?" ujar seorang pria tersenyum ramah, berdiri di dekat mobil.
Para pekerja yang berada di rumah Andriano sudah terbiasa memanggil Naralisha dengan sebutan 'neng'.
KAMU SEDANG MEMBACA
NALURI
Fiksi RemajaLuka lama itu memang menyakitkan. Seseorang yang baru hadir untuk memberikan penawar luka yang sudah tergores begitu dalam. Tapi luka itu tidak sembuh, melainkan lebih sakit dan hancur hingga tenggelam ke dasar lautan luka yang lebih dalam lagi. . ...