Edelweiss | Prolog

94 9 0
                                    


Cinta?

Apa itu?

Semacam permen kapas yang terasa manis lidah kah? Atau malah butiran serbuk kopi yang tanpa gula akan terasa pait?

Awalnya aku nggak pernah mikirin soal cinta. Boro-boro mikirin cinta, berpikir untuk mencintai seseorang aja aku nggak pernah.

"Kamu kenapa?" tanyaku pada salah satu temanku yang sedang menangis.

"Cowok yang aku suka ternyata suka cewek lain, huaaa."

Ini juga yang jadi salah satu faktor aku nggak mau menyukai orang lain. Aku takut patah hati.

Namun, pemikiranku itu berubah setelah aku bertemu dengan seorang cowok di bangku SMP. Awal bertemu dengannya aku memang sangat tidak menyukai sifatnya yang songong sekali, suka seenaknya, pemaksa, playboy, ngeselin, sok keren, dan sok ganteng. Pokoknya dia itu bukan tipeku banget deh dulu.

Lalu entah kenapa semakin aku tidak menyukainya, semakin Tuhan mendekatkan kami. Mulai dari aksi heroic-nya saat kejadian di mana aku dipalak Kakak kelas, sampai permintaan anehnya yang ingin aku menjadi sahabatnya.

Namun, entah kenapa semakin kami dekat, hatiku perlahan menjadi egois. Aku menginginkannya lebih dari menjadi seorang sahabat. Aku paham jika hatiku berangsur-angsur mencintainya.

"Rana!"

Lihatlah! Hanya mendengar suaranya saja hatiku berdesir dan senyumku langsung melengkung indah.

"Rana, lo tau nggak apa yang paling membahagiakan hari ini?"

"Apa? Masih bisa lihat gue senyum ke lo, ya?" Aku menanggapinya becanda.

"Bukan! Tapi gue berhasil jadian sama Mika!"

Dan senyum itu seketika memudar.

Tuhan, aku mohon jangan panggil aku dulu. Aku masih ingin berjuang sekali lagi.

***

Silahkan swipe up untuk membaca part selanjutnya ya.

Regards,

Rania

Edelweiss Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang