Semilir angin malam menerbangkan anak rambut seorang gadis berumur 17 tahun yang memiliki bola mata hijau, warna mata yang sangat sama seperti permata emerald. Pandangannya tertuju ke depan, menatap hamparan rumput liar di halaman rumah dari atas balkon kamar. Pikiran pun ikut berkelana jauh, memikirkan hal-hal yang mustahil ada di dunia nyata. Seperti membayangkan adanya seorang peri ataupun penyihir di dunia ini.
Terkadang ia sering kali tertawa sendiri membayangkan apa yang ada di dalam imajinasi liarnya, setelah semuanya sudah terkumpul maka ia akan menuangkan dalam bentuk tulisan. Rasanya dunia ini terasa begitu flat tanpa ada hal-hal yang menarik seperti di dunia fantasi.
Sinar bulan purnama serta bintang yang turut menghiasi malam ini, begitu terlihat menenangkan serta indah di pandang mata. Sungguh, Greenie benar-benar ingin merasakan bagaimana rasanya hidup di dunia fantasi. Hidup bersisian dengan peri, penyihir, atau semacam goblin seperti di sebuah film-film yang sering kali ditonton. Keinginan Greenie begitu gila bahkan mustahil bisa terwujud.
"Peri, penyihir, pangeran berkuda putih. Ah, bisa gila gue," gerutu Greenie sembari mengacak-acak rambut dengan pelan.
Ia mengembuskan napas kasar, berjalan memasuki kamarnya kembali. Entah mengapa sorot matanya malah terpaku ke arah buku tebal berwarna hijau tua dengan cover bergambar klasik, khas model bangunan Eropa. Dipinggiran cover itupun terdapat berbagai tumbuhan serta pepohonan besar. Hal yang paling membuat Greenie mengerutkan dahi ialah judul dari buku tersebut.
Greenie mendapatkan buku tersebut dari ruang bawah tanah, saat ia tidak sengaja membantu sang ibu membersihkan rumah sampai menyelusuri ruang bawah tanah. Ibu bilang, ruang bawah tanah itu merupakan tempat persembunyian kakek, di saat kakek sedang marah ataupun dalam suasana hati yang tidak baik. Greenie yang selalu penasaran, terpaksa memeriksa ada apa saja di dalam ruang bawah tanah itu. Alhasil ia menemukan sebuah buku yang sangat menarik perhatiannya.
"Secret Forest, " gumam Greenie.
Entah mengapa, judul buku itu sangat tidak asing dipendengaran Greenie. Ia seperti pernah mendengar dua kata itu. Tiba-tiba saja alis yang berkerut memikirkan dua kata dari judul buku tersebut, mengedur. Greenie ingat sekarang, bahwa judul buku tersebut sama persis seperti nama hutan yang tidak jauh dari villa milik keluarganya. Terakhir kali ia pergi ke sana saat berumur 12 tahun bersama sang kakek.
"Secret Forest? Apa buku ini ada hubungannya sama hutan itu?" tanya Greenie kepada dirinya sendiri.
Tatapan mata masih tertuju ke arah buku yang ada di dalam genggamannya. Melihat berbagai sisi serta membulak-balikan buku tebal itu. Namun, Greenie sama sekali tidak bisa membuka buku tersebut. Membuat ia sama sekali tidak bisa membaca, padahal ia sangat penasaran dengan isi dari buku klasik bergaya Eropa itu.
"Kalo bener buku ini ada hubungannya sama hutan itu, gue harus cari tahu. Siapa tahu 'kan, dunia yang ada di imajinasi gue itu benar adanya." Greenie menggangguk mantap, menyakini diri sendiri untuk mencari tahu keterkaitan buku tersebut dengan hutan yang sama sekali tidak boleh dipijaki.
Hutan yang katanya banyak menyimpan sebuah rahasia juga teka-teki di daerah itu. Saat Greenie berumur 12 tahun, sang kakek sering melarang ia agar tidak jauh-jauh dari villa, karena villa milik keluarga Greenie masih satu kawasan dengan hutan itu. Takutnya nanti, Greenie malah tersesat di dalam hutan itu.
Semakin ia dilarang menginjakkan kaki di hutan itu semakin membuat rasa penasarannya meninggi. Apalagi banyak rumor yang beredar bahwa hutan tersebut dihuni oleh berbagai jenis makhluk serta pintu menuju dimensi lain. Poin kedua inilah yang membuat Greenie ingin ke sana, tetapi kalau ia pergi sendiri kemungkinan sang ibu dan ayah tercinta akan merasa khawatir dan tidak mengizinkan. Ia mesti mengajak salah satu teman untuk menemani ke hutan itu. Agar kedua orang tuanya tidak merasa khawatir.
"Apa jangan-jangan buku yang disimpan kakek itu buku buat menuju ke dimensi lain? Dan pintunya itu ada di hutan Secret forest?"
Sontak saja Greenie langsung beranjak dari posisi tidur telentang, kalimat itu terlintas begitu saja. Mungkin saja apa yang dipikirkan oleh Greenie ada benarnya. Ia kembali mengambil buku tersebut dari dalam laci, memperhatikan lagi secara teliti. Sampai ia menemukan sebuah kalimat yang mampu membuat sudut bibir tertarik ke atas membentuk bulan sabit.
"Jika kau sudah membukanya, maka kau akan dibuat terkejut dengan isinya. Namun, bukan sembarangan orang yang bisa membuka buku ini. Carilah empat sekawan agar kau mampu membuka buku ini," ucap Greenie membaca kalimat yang tertera di bawah judul buku, dengan font yang sangat kecil.
Greenie menggangguk mantap, besok ia akan mengajak serta memberitahu teman-temannya perihal aoa yang ia dapatkan dari ruang bawah tanah milik sang kakek. Setelah itu ia akan memikirkan rencana apa selanjutnya agar bisa pergi ke hutan itu.
***
Greenie mengerjapkan mata merasakan intensitas cahaya pagi mengganggu tidur nyenyaknya. Tak lupa juga merenggangkan otot-otot tubuh yang terasa kaku. Tatapannya tertuju ke arah jam dinding di depan sana, yang menunjukkan pukul enam. Sudut bibir tertarik ke atas membentuk senyuman kecil mendengar teriakan sang ibu dari lantai bawah sana. Bersyukur Greenie memiliki seorang ibu seperti Anintya yang selalu mengingatkan bahkan berteriak membangunkannnya.
Tak lupa juga dengan rasa bangga untuk sang ibu, wanita paruh baya itu merupakan panutan Greenie, selain menjadi ibu rumah tangga. Sang ibu juga merupakan seorang dokter bedah saraf, yang kadang selalu sibuk dengan pasien-pasien di rumah sakit. Namun, sang ibu selalu menyempatkan waktu untuk keluarganya, seperti memasak, membangunkan ia untuk sekolah, menyiapkan keperluan sang ayah, serta masih banyak lagi waktu Anintya habiskan demi keluarga. Bahkan Greenie tidak pernah mendengar keluhan apa pun dari sang ibu.
Wanita paruh baya itu seakan-akan menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga sekaligus seorang dokter. Greenie berharap suatu hari nanti, ia bisa menjadi seperti ibunya. Ia pun tidak pernah melupakan sang ayah, yang juga merupakan panutan. Selain mengurusi berbagai pekerjaan di kantor dengan jadwal yang sering kali padat. Sang ayah selalu memiliki akal agar bisa berkumpul dengan keluarga. Greenie bersyukur masih memiliki orang tua yang peduli serta rela membagi waktu untuk keluarga.
"Tumben sudah bangun, biasanya harus Ibu yang datang ke kamar," ucap Anintya melihat anak gadisnya berjalan ke arah ruang makan. Tak lupa dengan kecupan selamat pagi di pipi wanita paruh baya itu.
"Ayah ke mana? Biasanya dia nungguin Enni," Greenie melihat ke sekitar dapur, ia sama sekali tidak menemukan keberadaan sang ayah. Biasanya setiap pagi lelaki paruh baya itu selalu menunggu Greenie, sampai sarapan bersama dan pergi bersama. Ia ke sekolah, ayah ke kantor.
"Seorang CEO itu tugasnya berat, Sayang. Ayahmu sudah menunggu dari tadi, karena kamu mandinya lama. Dia jadi pergi duluan, deh," ujar Anintya sembari menuangkan nasi goreng ke piring, menambahkan sosis, dan potongan ayah di atas nasi tersebut. Lalu memberikannya ke hadapan Greenie.
"Tega banget, padahal Enni buru-buru tahu mandinya," tutur Greenie dengan wajah yang dimanyunkan.
Sementara Anintya hanya menggeleng kecil melihat kelakuan anak semata wayangnya itu, yang sedang ngambek sambil makan. Sangat menggemaskan, mirip dengan Julvan—suaminya— Lama saling diam, Greenie mencoba berdeham. Ini saatnya untuk meminta izin terlebih dulu.
"Ibu, aku boleh enggak nginap di Villa? Hitung-hitung healing sebelum ujian kelulusan tiba," ucap Greenie dengan nada meragu. Takut kalau sang ibu tidak memberikan izin.
"Sama siapa? Mute, Angie, sama Cia?" tanya Anintya sembari menaikkan sebelah alisnya kecil.
"Iya, Bu," kata Greenie sembari mengulas senyum lebar.
"Ya sudah pergi aja. Tapi inget, jangan sampai jauh-jauh dari Villa, ya."
Greenie mengangguk mantap. Ia kembali menghabiskan sarapannya dengan semangat sekaligus suasana hati yang bahagia. Tidak sabar rasanya memberitahu teman-teman tentang dunia fantasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Fantasi Greenie || END
FantasyA story Hasnabillah Firdha Zany "Semua yang tidak bisa dilihat oleh mata telanjang, ternyata benar adanya."