Hoamm.... Aku menguap dengan tambahan sedikit akrobat dari tubuhku. Sudah tiga jam aku duduk di sofa dengan ruangan cat putih yang super membosankan. Sebuah raga yang berada di atas ranjang rumah sakit itu sama sekali tidak menunjukkan eksitensi kehidupan.
Oleh karena itu, aku mendekatinya lalu mengecek wajahnya. Sebuah wajah bak karya seni itu tertutup oleh seorang sifat absurd yang selama beberapa hari ini berbaring tak berdaya di rumah sakit karena penyakit yang dideritanya.
Dia adalah Dion. Sahabat sekaligus keluarga. Well, bukan keluarga kandung, tapi keluarga Dion mengangkat aku menjadi adik angkatnya. Walaupun umur hanya berjarak beberapa bulan, tetapi soal kekonyolan umur bukan lagi jadi tolak ukur.
Setiap kali Dion kambuh, akulah yang selalu sigap membawanya ke rumah sakit. Untuk keseharian aku juga yang mewaratnya. Karena penyakitnya memberinya batasan hidup yang tidak adil. Orang tua kami sendiri selalu sibuk keluar masuk keluar kota untuk urusan bisnis.
Aku mengeluarkan ponselku, lalu menyandingkan wajahku di wajah Dion untuk selfi. Setelah mengambil beberapa pose yang aku inginkan aku mengecek kembali foto-foto tadi satu persatu. Di foto terakhir aku terkejut karena mata Dion membelalak terbuka. Lebih mengerikan dari hantu.
"Kenapa kaget? Habis lihat hantu?" tanya Dion sinis.
"Ih, kok tahu," jawabku cepat.
"Ka, tolong bantu gue sender!"
Aku segera menyimpan ponsel di saku kemudian membantu posisi badan Dion untuk bersender. Melihat dia selemah ini jadi kasihan juga, walapun terkadang menjengkelkan.
"Lo ngga, pulang?" tanya Dion baru saja melihatku yang masih menggunakan seragam sekolah dari atas sampai bawah.
"Ngga mau, di rumah juga ngga ada siapa-siapa."
"Ngomong aja takut setan di rumah, kan," sindirnya yang tepat sasaran.
"Ngga gitu ya, ya udah gue pulang sekarang," semburku lalu melangkah pergi.
Baru beberapa langkah menuju pintu keluar suara Dion memintaku untuk berhenti. Aku harap dia memintaku untuk kembali kalau tidak aku akan berakhir di rumah bak istana yang cukup mengerikan.
"Ati-ati di kamar lo ada penunggunya lho, huuu."
Sial, dia malah menambah menakutiku. Entah kenapa kakiku sedikit sulit untuk kugerakkan. Tubuhku juga mendadak merinding. Waktu menunjuk pukul tengah malam. Rumah sakit terasa sepi, takut-takut kalau berjalan di lorong nanti bakalan ada yang muncul tiba-tiba dari arah belakang dan menculikku. Akh.... imajinasiku terlalu ke mana-mana.
Dengan wajah menunduk malu aku kembali duduk di sofa. Sedangkan Dion menertawaiku dengan sangat puas.
"Cik, Cika!"
"Cik!"
"Cikaahhh!"
"Apasih!"
"Lo ngga takut? Mana di pojok lagi, kan anunya suka nyempil di situ."
Dasar Dion sialan. Sudah baik aku menunggunya beberapa jam di rumah sakit. Tapi timbal balik yang kuterima malah seperti ini.
Aku terjinggat karena sebuah panggilan dari ponselku berdering. Lalu terkejut setengah mati karena orang itu menggunakan foto profil hantu. Nyarisnya ponselku menjadi korban karena ketidaksengajaan atas responku yang melempar ponsel ke sembarang arah. Aku segera mengambil ponsel dengan mata tertutup sebelah. Tidak lama pupilku membesar ketika tahu siapa yang iseng meneleponku.
"Dionnn!!!"
"Hahahaha."
"Puas bikin gue jantungan, huh!" bentakku sembari memukul lengan Dion. Andai saja Dion sedang tidak sakit, pukulanku akan lebih dari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Like Him
Teen FictionDi sini kehidupan memang nampak baik-baik saja. Namun semakin jauh saat diterawang canda dan tawa hanyalah perumpamaan bagi Cika. Tak terlepas memiliki keluarga atau tidak, ada seseorang yang selalu bersamanya. Hingga arti keluarga menjadi hal lain.