LIMA

8 3 8
                                    

Perlahan, mentari mulai menunjukkan eksistensinya. Alarm yang terdengar dari kamar Dion berhasil membangunkan si kerbau malas itu. Hal pertama yang Dion lakukan tentu saja mengumpulkan nyawa lalu mematikan alarm yang memuakkan telinga itu.

Dengan langkah gontai yang belum sepenuhnya sadar, Dion berjalan menuju kamar mandi dan mulai melakukan pembersihan diri. Tak lama Dion keluar dari kamarnya yang sudah memakai seragamnya lengkap. Hari Senin ini, menjadi mula hari-hari membosankan selanjutnya.

Di depan garasi mata Dion menyipit melihat dua orang memakai seragam sepertinya yang tak lain adalah Cika dan Josen. Begitu Cika sadar dengan kehadiran Dion, dia berlari kecil menghampiri si pemuda yang terlihat dingin. Walaupun Cika tahu Dion masih marah dengannya, dia tetap bersikap seperti biasanya.

"Dion, lo ngga bareng kita, aja gitu? Biar enak nggak habisin bensin," tawar Cika sambil menunjuk sebuah mobil yang di dalamnya sudah ada sopir dan Josen.

"Ngga," tolak Dion cepat lalu melengos masuk ke dalam mobil favoritnya.

"Dih, gitu amat sih mukanya," cibir Cika sambil merotasikan matanya sebal.

Tiin tiin

Dion memencet klakson mobilnya supaya Cika minggir dari jalannya. Seperti menantang, Cika malah diam di tempat dengan kedua tangan dilipat di bawah dada. Di dalam mobil sana Dion sudah mengacak-ngacak rambutnya frustasi sehingga mau tidak mau kepala Dion menyembul dari jendala kaca mobil.

"Minggir bego!" teriaknya keras.

Tiba-tiba Josen datang karena terlalu lama menunggu Cika.

"Cik, kamu kok lama?" suara berat itu membuat Cika terjinggat dan merubah posisinya lebih sopan di depan Josen.

"Eh, maaf. Mau berangkat sekarang?"

"Iya kalau bisa."

"Ya, sudah. Ayo berangkat," ucap Cika dengan semangat.

Tanpa sadar Josen merangkul bahu Cika. Dengan sengaja Cika menoleh ke belakang kemudian menjulurkan lidahnya ke arah Dion berniat untuk mengejek.

Di dalam perjalanan sebuah keheningan tercipta dengan jelas. Entah mengapa tidak ada yang mau membuka percakapan terlebih dahulu. Cika sibuk melihat pemandangan luar dari dalam kaca sedangkan Josen sibuk dengan layar ponsel di genggaman tangannya.

Tiba-tiba sebuah dering panggilan menyeruak menusuk keheningan. Cika heboh mencari ponselnya yang ternyata panggilan itu dari ponsel Josen.

"...."

"Hm."

"...."

"Aku mengerti."

"...."

"Iya, aku tidak tuli. Seterusnya jangan menggangguku lagi. Mengerti?"

Josen menutup ponselnya dan membanting ponselnya begitu saja tanpa memperdulikan tatapan Cika ke arahnya. Seolah-olah terkejut dengan Josen yang tiba-tiba marah seperti itu. Mengingat watak Josen yang seperti tidak pernah marah, kini dipatahkan langsung olehnya saat ini. 

Walaupun rasa ingin bertanya sangat besar bagi Cika namun sebisa mungkin ia mengontrolnya untuk merasa seperti tidak ada apa-apa. Selanjutnya suasana kembali hening.

"Cik," Josen memanggil tiba-tiba.

Cika menoleh ke arah laki-laki yang memanggilnya itu," hm?"

"Setelah pulang sekolah ikut aku sebentar mau, ya?"

"Ke mana?"

"Nanti tau sendiri."

"Tapi...," Cika bukannya ingin menolak, tetapi hari ini adalah ulang tahun Deon. Ia ada rencana tersembunyi untuk merayakan hari spesial saudaranya itu. Walaupun sebenarnya Cika malas hal ini tentunya menjadi tolak pikirnya untuk memilih apa yang ia tentukan.

I Like HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang