EMPAT

9 4 8
                                    

Saat sedang bersih-bersih kamarnya, Cika teringat sesuatu yang mengusik pikirannya. Matanya menengadah ke atas tanda sedang berpikir keras. Begitu ingat, ternyata ini berhubungan Dion. Padahal dia sedang malas berhadapan atau berbicara dengannya.

Sebenarnya kalau menyangkut pautkan perasaannya ia juga tidak mau melakukan ini, tapi ketika diingatkan dengan kenyataan bahwa Wendy yang meminta dia tidak bisa menolak. Orang tua Dion sudah membesarkannya sampai seperti ini.

Setelah selesai mau tidak mau Cika pergi mencari Dion ke kamarnya. Membuka pintu kamar yang tidak dikunci kemudian menemukan seorang bayi besar yang sedang tertidur nyenyak dengan memeluk guling. Kalau begini Cika jadi gemas sendiri. Namun ketika melihat kamar Dion yang berantakan membuat tangannya gatal untuk merapikan.

Dengan berhati-hati Cika bergerak agar tidak menimbulkan bunyi lebih supaya tidak membangunkan Dion.

Karena lelah setelah berhasil merapikan kamar ini, Cika duduk di pinggir kasur. Tiba-tiba sebuah tangan merangkul pinggangnya dari belakang. Cika terjinggat lalu melihat Dion yang sepertinya sengaja tertidur miring sambil memeluknya.

"Bangun, lo tadi udah minum obat belum?" Cika bertanya.

Tidak ada balasan. Mata Dion masih tertutup rapat seperti tidak ingin bangun.

"Dasar kerbau! Bangun!" Sentak Cika sembari menjewer telinga Dion.

Dion hanya semakin menggeliat tidak jelas.

"Oi, banguuuunn!" Rasakan, Cika teriak pas ditelinga Dion.

"Gila, ya lo? Awas kalau kuping gue jadi masalah.

"Lagian susah banget kalau ngga gitu. Btw, lo udah minum obat yang kedua, kan?"

Dion tidak menjawab. Dia baru teringat kalau sedang ngambek dengan Cika. Kemudian dia bangun dan langsung masuk ke dalam kamar mandinya. Mengabaikan pertanyaan Cika.

Kesal dengan sikap Dion seperti itu kepadanya, dia mengejar langkah Dion kemudian meregangkan tangannya di pintu kamar mandi. Ngambek boleh, tapi soal kesehatan bukanlah hal yang bisa dijadikan main-main seperti sifat kekanakan ini.

"Jawab dulu."

Dion merotasikan matanya malas kemudian membalikkan jalannya ke arah ruang ganti pakaian. Sekali lagi Cika kembali mengejarnya dan menghalanginya di pintu.

Dion tidak habis pikir dengan Cika saat ini. Kemudian Dion mempunyai cara jahil yang seratus persen ia percaya akan membuat Cika pergi dari kamarnya. Dion membuka bajunya satu persatu di depan Cika.

Mata Cika melotot saat tangan Dion akan membuka celananya," hei, stop! Lo ngapain buka baju di sini, huh!" sentak Cika merasa geli.

Dion maju selangkah mendekati Cika," karena lo ngalangin gue masuk ke ruang ganti," katanya sambil menghadap ke wajah Cika yang memerah.

"Makanya jawab dulu. Kalau memang udah ya tinggal bilang udah apa susahnya, sih. Gue khawatir lo lupa."

"Mau udah atau belum bukan urusan lo," ucap Dion lalu mendorong Cika sampai dia bisa masuk ke dalam ruang ganti pakaiannya. Dengan sengaja Dion menutup pintunya begitu keras.

Brakkk

Kesal? Tentu saja. Rasanya seperti sudah diperhatikan, tapi yang diperhatikan tidak tahu diri. Cika pun lebih memilih untuk kembali ke kamarnya. Ia juga ingin mandi lalu menyelesaikan list tugasnya setelah itu hal yang paling ditunggu adalah tidur.

Begitu menyentang semua list-nya, tinggal satu yang belum yakni mempersiapkan seragam baru untuk Josen. Seragam yang baru ia pesan telah sampai sore tadi juga.

Cika mengetuk pintu kamar Josen, tidak perlu menunggu terlalu lama untuk membuat Josen membuka pintunya. Cika juga merubah wajahnya lebih ramah.

Melihat siapa yang datang, wajah Josen langsung membuat raut wajah begitu senang. Tentu saja dengan senang hati, Josen langsung memberikan ruang untuk Cika masuk ke dalam kamarnya. Tetapi Cika enggan masuk dan hanya berdiri di depan pintu.

"Saya hanya ingin memberikan ini."

Josen menerima kotak kardus sedang itu," apa ini?" tanyanya karena ingin berbicara lebih lama dengan Cika.

"Ah, itu seragam sekolah Josen yang baru buat besok."

"Oh, itu ternyata. Terima kasih."

Cika menganggukkan lehernya, kemudian membalikkan badannya untuk segera pergi. Detik kemudian Josen menahannya.

"Bisa minta tolong sebentar?"

"Minta tolong apa?"

"Masuklah."

Cika masuk ke dalam kamar Josen dengan perasaan ragu-ragu. Begitu masuk ia langsung mengelilingkan pandangannya untuk menelisik setiap detail kondisi kamar Josen. Ia membandingkan kondisi sebelum dan sesaat Josen meninggalnya. Sebelum Josen ada ini hanyalah kamar biasa, tetapi saat ini suasananya berubah menjadi lebih modern dengan sentuhan barang-barang yang minimalist. Khas seperti kamar pria. Ada beberapa hiasan yang meskipun masih bisa dibilang sederhana tapi ada nilai estetika tersembunyi jika diteliti baik-baik. Sepertinya Josen mendekor ulang kamar ini menjadi versi dirinya. Ini menarik, apalagi kamarnya begitu rapi.

"Cika?" Josen memanggil Cika yang terlihat melamun untuk mengalihkan perhatian kepadanya. Cika terlonjak kecil kemudian kembali fokus dengan masalah utama yang membuatnya masuk kemari.

"Lampu di kamar mandi mati, tolong bantu pegangi tangganya waktu aku memasang lampunya.

"Oke."

Ketika Josen siap untuk menaiki tangga, Cika mempersiapkan tangannya untuk menjaga keseimbangan tangan sebagai jaga-jaga kecelakaan yang tidak diinginkan. Tanpa ragu, tangan Josen dengan cekatan mengotak-atik bola lampu yang dengan mudah ia pasang. Begitu selesai Josen turun dari tangga dengan hati-hati.

"Nyalakan saklar di sampingmu," titah Josen karena ingin mengetahui apakah hasil kerjanya berhasil atau tidak.

Yapp, lampu itu menyala dengan terang. Tercetak senyum kecil di bibir Josen karena perasaan senang yang sementara. Pandangannya melirik ke arah Cika.

"Terima kasih bantuannya kamu bisa kembali istirahat. Tunggu, kudengar kamu juga sekolah di SMA Alexander School?" tanyanya dengan sikap satu tangan di bawah dada dan satunya lagi memangku dagu. Pandangannya ke bawah melihat sosok gadis yang tingginya hanya sampai dadanya.

Cika mengangguk tanpa sepatah kata. Dia tidak ingin banyak bicara di depan Josen.

"Sayang sekali kita beda tingkat kelasnya. Kalau tidak aku bisa minta satu ruangan sama kamu."

Wajah Cika sempat membeku karena perkataan sekaligus tatapan Josen yang beda dari yang lain. Entahlah, sulit untuk Cika coba deskripsikan arti dari tatapannya itu namun yang jelas salah satunya yang paling kentara adalah raut wajah kekecewaan.

"Ngomong-ngomong kenapa Anda sekolah di sini? Bukannya di Belanda lebih bagus?"

Josen mengalihkan pandangannya ke bawah. Kemudian mendudukkan diri di kursi meja belajarnya. Dengan merangkas kalimat supaya bahasanya mudah dimengerti oleh lawan bicaranya. Jujur bahasa Indonesia-nya masih belum begitu luas, apalagi tentang bahasa gaul yang minim ia ketahui.

"Selama aku kecil Tante Wendy selalu meluangkan waktunya lebih banyak dari orang tuaku sendiri. Semakin dewasa semakin akulah yang menjauh dari Tante Wendy karena alasan sibuk belajar. Aku merasa kasihan, makanya waktu beliau nawarin buat sekolah di sini aku turuti saja."

Dari penjelasan Josen, Cika dapat menyimpulkan bahwa alasan Josen hampir mirip dengan alasannya menjadi asisten pribadinya.

Cika mengangguk paham.

"Cik!"

Cika menoleh," ya?"

"Tolong tetap seperti ini, ya."

Cika menggaruk lengkuk lehernya yang tidak gatal berusaha menutupi kebingungannya. Entah mengapa suasana saat ini berubah dari awal ia masuk ke dalam ruangan ini. Apalagi dengan Josen yang membuatnya semakin tidak mengerti.

"Kamu tidak mengerti, kan?" Baguslah. Aku harap kamu tidak mengerti sampai aku pergi dari rumah ini."





I Like HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang