[6] Gejolak emosi

210 21 13
                                    

Gelap, berdebu.

Itu yang Glen rasakan saat kakinya menapaki sebuah ruangan yang cukup luas dengan satu buah jendela besar yang tertutup tirai tipis. Tidak ada benda lain selain sebuah piano klasik yang berada persis di depan kaca berbingkai kayu yang menjulang tinggi tersebut dan sebuah pigura yang melukiskan seorang wanita mengenakan baju pengantin didampingi seorang pria ber jas rapi di salah satu sisi dindingnya. Samar-samar Glen mengenali wajah si wanita yang tersenyum anggun dengan wajah cantiknya.

Tanpa meminta persetujuan sang tuan rumah yang kini berdiri mematung di depan pintu, Glen melangkah mendekati jendela dan menyibak tirainya. Seketika sinar mentari merebak masuk memberikan sedikit penerangan yang langsung menyinari alat musik yang terbengkalai--terlihat dari tebalnya debu yang menyelimutinya.

Glen langsung melirik pigura yang cukup menyita perhatiannya saat pertama kali ia masuk. Benar saja, wanita itu, dia Alena. Dan Glen yakin, lelaki di sampingnya itu adalah Papah Akhtar. Orang yang sampai detik ini belum pernah ia temui secara langsung. Sekarang Glen tahu, dari mana Akhtar mendapatkan mata indahnya.

"Wajah kalian sangat mirip," gumam Glen tanpa sadar. Yang sayangnya masih bisa di dengar oleh Akhtar, membuatnya mendecih pelan. "kenapa lo?" tanya Glen sengak. Akhtar hanya diam kemudian berjalan mendekat.

"Lo bilang gue butuh istirahat, kenapa maksa ke sini?" suaranya mengalun dingin menggema di dalam ruangan yang kekurangan isi. Melihat perubahan emosi yang sangat kentara dari Sang pacar membuat Glen tersenyum maklum.

"Enggak boleh yah? Maaf." sautnya menunduk. Kini Akhtar yang dibuat gelagapan, segera ia menyahut dengan suara yang lebih ramah.

"Bukan begitu, gue kan baru pulang dari rumah sakit, apa kita enggak istirahat dulu aja?" Diam-diam Glen tersenyum tipis. Lihat bukan? Kekasihnya ini memang tak akan pernah tega kepadanya.

Glen mendongak. "Oke kita istirahat dan obati luka lo dulu. Tapi sebelum itu, gue mau tanya, kapan terakhir kali tempat ini dipakai?"

"Satu tahun yang lalu." Glen berdecak, pantas saja debunya melekat tebal. "Tapi Mama sering ke sini, sekadar duduk mengamati. Dan itu terakhir terjadi sebelum ia berangkat ke Amerika tiga bulan yang lalu." sautnya lirih. Glen bisa merasakan kesepian yang tersirat dari kedua mata indah milik Akhtar.

"Ma--"

"Siapa kalian?!" Keduanya reflek menoleh dan mendapati seorang wanita dengan sebilah golok ditangan kanannya. "Oh yaampun Aden, bibi kira siapa." lanjutnya melambaikan si besi saat tahu bahwa itu adalah tuan mudanya. Glen meringis, ternyata Bibi di rumah ini lebih menyeramkan dibanding Bi Sri--pelayan di rumahnya.

Akhtar melirik tas kain yang terselip di lengan wanita itu. "Bibi mau pulang?"

"Ah iya Den, Bibi tadi sudah masakin makanan buat Aden. Semua pekerjaan juga sudah selesai." sautnya tersenyum.

"Sebelum pulang, tolong bersihin tempat ini dulu ya Bi." Si wanita itu terlihat terkejut.

"Aden serius?" Akhtar mengangguk sekilas. "Baik Den, nanti bibi bersihkan. Sebaiknya Aden sama si Non, makan dulu saja." ucapnya tersenyum ramah.

"Iya Bi, makasih yah." balas Glen mengulas senyum. Keduanya pun berjalan keluar.

"Lo makan duluan aja, gue mau ambil baju ganti dulu di motor." Percaya atau tidak, Elyana selalu menaruh sepasang baju di jok motor milik Glen. Mengingat sudah lima kali seragam Sang anak rusak akibat dipakai keluyuran sepulang sekolah membuatnya lebih posesif menjaga si seragam.

Beberapa menit berlalu, Glen sudah kembali dengan sebuah tote bag di tangannya. Dahinya mengernyit bingung saat mendapati Akhtar malah berbaring menelungkup di atas buntalan kapas yang dibungkus kain lembut berwarna abu tua. Sofa empuk beralaskan karpet bulu tebal memutar membentuk setengah lingkaran di belakang lelaki itu. "Ko lo enggak makan?"

Naefa 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang