Hujan Datang Ketika Malam Dan Kita Sudah Tak Mampu Memberi Hangat

128 8 1
                                    

Gerimis datang setelah aku beranjak pulang, setiap tetesnya menyaksikan ketika kau ucap banyak harapan, satu menit sebelum perpisahan yang menyakitkan.

Lalu hujan-hujan yang lain, yang tak kita kenal ikut menghampiri, membasahi luka setiap kita yang warnanya masih sangat jelas terlihat merah merekah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lalu hujan-hujan yang lain, yang tak kita kenal ikut menghampiri, membasahi luka setiap kita yang warnanya masih sangat jelas terlihat merah merekah.

Entah, aku merasa cukup suka dengan hujan yang datang malam ini, hujan yang jatuh dengan airnya tanpa ada setitik kebohongan, hujan yang menyebabkan perih yang dalam, yang terkadang membuatku gusar, tapi aku suka.

Tidak seperti hujan-hujan kemarin, hujan yang sudah seringkali kita nikmati. Bahkan kita sudah hafal, bahwa pada tiap-tiap tetesnya hanyalah sebuah penderitaaN yang dibalut dengan kebahagiaan. Malam ini tidak, hujan yang datang begitu jujur, sebab ia datang, seolah dia paham bahwa ia sedang sangat dibutuhkan.

 Malam ini tidak, hujan yang datang begitu jujur, sebab ia datang, seolah dia paham bahwa ia sedang sangat dibutuhkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pada jalan yang gelap, aku meringis tanpa ada seseorangpun yang tahu. Dadaku, hanya akulah yang bisa merasakan betapa sesaknya. Air mata tak kuasa untuk kutahan lebih lama,
perlahan ia mengalir, bersamaan dengan tetes hujan yang membuatnya semakin riuh. Ia datang dari mata, melewati pipi, menuju dada dan menggenang pada hati yang berlinang luka. Senyum palsu tak diperlukan kali ini, siapa yang ingin melihatku? Tidak mungkin ada yang berjalan sepertiku, ditengah hujan deras jam dua dini hari.

Kuajak bicara diriku sendiri, mengisi waktu kosong di tengah perjalanan pulang. Barangkali aku benar dengan keputusan ini, juga bisa saja malah sebaliknya, pikirku.

Aku mulai mempertimbangkan setiap kemungkinan yang akan datang, sebisa mungkin mengantisipasi agar tak berbuah penyesalan. Namun, setidaknya ada sedikit bangga yang aku dapatkan, karena baru kali ini, setelah sekian lama aku tak mengambil keputusan.

Perpisahan yang kita amini waktu itu.

Bagiku, adalah sebuah kesalahan

yang berbuah penyesalan

panjang.

Satu batang rokok dan sebotol red wine, kucoba membasuh malam yang panjang, tanpa ada lagi kamu yang akan kutemui dihari esok. Meski kutahu, aku hanya sedang bergurau di teras rumah.

Aku dan hatiku masih sangat menginginkanmu, sederhananya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku dan hatiku masih sangat menginginkanmu, sederhananya. Namun keadaan dan keegoisan saat ini belum mampu untuk kukalahkan, mungkin karena setelah satu tahun denganmu, aku merasa masih belum bisa membahagiakan.

Aku tak tahu dan tak ingin tahu, apakah malam ini aku bisa terlelap tanpa seutas kalimat selamat tidur darimu, atau aku bisa terbangun esok, tanpa ada ucapan selamat pagi untukku.

Aku akan melewati malam, dan pagi tanpa mata yang terpejam, kurasa aku hanya akan melakukan hal yang sama seterusnya. Tapi aku juga tak bodoh, aku melakukannya hanya karena saat ini, tak ada cara paling sederhana, selain menghisap rokok dan menikmati sebotol anggur di teras rumah.

Kunikmati malam yang basah. Tak ada hening, tak ada deru angin, hanya ada hujan dan malam yang dingin, tapi aku tetap merasa hangat. Meraih malam penuh sepi ketika jarum jam telah beranjak menuju pukul tiga pagi, dan aku masih saja terdiam, tanpa suara, tanpa kata.

Berbicara pada malam yang buta, tak ada kantuk. Namun, malam sepertinya berhasil kukalahkan, ia memilih masuk kedalam rumah, meraih hangat dengan raut muka yang terlihat penat.

Dan aku tersadar, ketika suara-suara adzan menggemah. Aku hanya sebatas menghayal karena telah menakhlukkan malam. Malam memang sudah terlihat cukup tua, tapi ia belum hilang, seperti kamu. Kau akan selalu bersarang di sini, duduk dan merenung dihatiku, lalu kau akan melihat malam, hujan, dan kisah kita yang telah usai.


Aku, Dan Hujan Yang Malang.

Malam ini basah. Dirimu yang tak

terbenam dalam peluk, mengizinkan angin berdiskusi

dengan butir-butir hujan yang malang. 

Dan gelasku bersedih tak terpenuhi senyummu,

tapi gelap tetap setia pada redupnya malam.

Akupun begitu.

Palembang, 18 Februari 2020

30 Hari Menuju LupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang