Berjalan Menuju Arah Yang Tak Sama

49 3 0
                                    

Barisan pohon menjulang panjang, menusuk burung-burung yang tengah asik terbang bebas dikejauhan awan, menutup setengah nyawa matahari yang tak sepenuhnya kutemui

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Barisan pohon menjulang panjang, menusuk burung-burung yang tengah asik terbang bebas dikejauhan awan, menutup setengah nyawa matahari yang tak sepenuhnya kutemui. 

Aku bersyukur pada senja yang selalu sempat menjengukku sampai hari ini. Setelah kemarin aku ditinggal pergi olehnya yang begitu mampu membuat hatiku kecewa, walau saat itu kau sedang rajin-rajinnya kubaca. 

Kini aku datang, sesekali mengunjungi savanna hutan yang akupun tak tahu, apakah mataku cukup sehat untuk mengkonsumsinya, karena kau tahu, dahulu hanya di matamulah aku bersinggah, menuangkan asa, membagi kisah, sampai akhirnya kita memilih sepakat untuk berpisah.

Kini aku datang, sesekali mengunjungi savanna hutan yang akupun tak tahu, apakah mataku cukup sehat untuk mengkonsumsinya, karena kau tahu, dahulu hanya di matamulah aku bersinggah, menuangkan asa, membagi kisah, sampai akhirnya kita memilih sepak...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Perjalanan yang agak sedikit letih, meski tak pernah kupungkiri, ternyata mengunjungi tempat-tempat yang jarang dilihat dengan mata, bisa meredah perih yang asal mulanya tercipta oleh hati. Kalau saja aku tak berada di sini sore ini, mungkin aku akan selalu bergantung pada malam, agar aku bisa sedikit melupa, tentang luka darimu yang memang kadang kala terasa memuram. Dan akupun semakin mengerti mengapa hujan memilih tak datang sore ini, itu berkat obrolan panjangku dengannya kemarin malam. Katanya, sesekali belajarlah pada matahari, walau seringkali ia tenggelam, tapi dia cukup meyakinkan bahwa dia takkan mungkin selamanya meninggalkan.

Kita satu arah, satu rasa.

Namun semesta berkata,

ini bukan saatnya.

Di jalan yang samping kanan dan kirinya penuh dengan hutan belantara, aku tak sengaja bertanya-tanya, apakah aku sudah benar memilih arahnya? Apakah aku tak tersesat untuk nanti kutemukan jalan lagi menuju arah rumah?  Sesekali aku menghardik pikiranku, dasar bocah! Kau penuh kuasa untuk memilih apakah kau akan melawati jalan yang sama, dan kembali menuju rumah, atau malah kau akan menetap dan memilih membangun rumah baru di sana. Disepanjang jalan , pikiranku saling bertabrakan, tak ada yang menang, tak ada yang kalah. Semuanya, entah mengapa aku sengaja saja memikirkannya.

Kini kita berada pada jalur yang berbeda, aku menuju tempat asing, agar barangkali disana aku bisa rehat sejenak dan menjauh dari kota yang kurasa semakin hari semakin membuat resah. Kaupun begitu, berjalan membelakangiku, dengan langkah lebar sembari menggendong ego, yang dahulu menjadi alasan mengapa kita sama-sama memutuskan untuk saling meninggalkan. Walau kutahu, di sini aku hanyalah berpura-pura meng-iyakan, agar kau tak merasa begitu bersalah, ketika kau mengucap kata pisah.

Perlu kau tahu, kata ingin pergiku saat itu, tak hanya seutas kalimat pergi yang biasa orang-orang ucapkan. Sebelum kuucap kata terlarang itu, butuh perdebatan panjang, mengingat kenangan, hal yang akan terjadi di depan, dan hal-hal menyakitkan yang suatu saat akan kurasakan sendirian. Namun, itu hanya sebuah sakit yang masih bisa dirawat di rumah, tak terkecuali penyesalan panjang yang kelak akan menghantui, tentang mengapa kita menjadi hitam putih.

 Namun, itu hanya sebuah sakit yang masih bisa dirawat di rumah, tak terkecuali penyesalan panjang yang kelak akan menghantui, tentang mengapa kita menjadi hitam putih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Terbanglah bersama burung-burung tanpa

setitik malam di matamu.

Aku akan tinggal di bawah arus yang tak ramah

dan tenggelam dalam kegelapan.

Kita sudah tak sama bukan?

Aku yang memilih hangat dikedalaman laut.

dan kau memilih sejuk diketinggian awan.

Kita berada di atmosfir yang berbeda, walau

berpijak dibumi yang sama.

Palembang, 19 Februari 2020

30 Hari Menuju LupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang