XI : Dua Nasib dan Masalah

108 20 99
                                    

Aku ingat banget kejadian ini

...

'Mas, sampean belum gajian, tah? (Mas, kamu belum gajian, tah?)'

Lian menghela nafas berat, menatap ke arah Ael yang kembali tertidur setelah bangun sebentar untuk makan malam. Mana bisa ia jujur kalau semua uangnya sudah ia gunakan untuk biaya rumah sakit Ael yang cukup mahal.

"Aduh piye yo, Sin, aku masih belum bisa kirim uang ke kamu."

'Lah terus piye aku karo Erico mangan nang kene? Ndak penak aku mas numpang ibu sama Kang mas ku. (Lah terus gimana aku sama Erico makan di sini? Sungkan (Merasa ga enak) aku mas numpang ibu sama kakak (laki - laki) ku).'

Lian mengusap kasar wajahnya, "Njalukmu piye? (Maumu gimana?)."

'Pegaten ae aku nek sampean keberatan nafkahi aku. (Cerai kan saja aku kalau kamu keberatan nafkahi aku).'

Ael membuka kedua matanya, menatap ayahnya yang sedang frustasi dengan ponsel yang menempel di telinga kirinya. Ael paham betul, ia mendengar percakapan antara kedua orang tuanya yang terlihat harmonis, rupanya menyembunyikan banyak rahasia.

Ael dapat melihat mata ayahnya yang sudah berkaca - kaca, tapi tetap menahan air matanya agar tak turun. Bioskop tempat ayahnya bekerja tengah mengalami penurunan finansial, membuat gaji ayahnya jadi tak seberapa.

Lian terkejut melihat ke arah Ael yang kini menatap ke arahnya, lantas segera mematikan panggilan secara sepihak dan menghampiri Ael.

"Kenapa, hm? Mau apa?" 

"Pengen keluar... Boleh?"

Lian tersenyum lantas menganggukkan kepalanya. Ia berjongkok di hadapan Ael, hingga Ael kini naik ke punggungnya dan Lian segera menyanggah tubuh Ael juga membawa tiang infus yang lebih membuat terlihat ribet itu. 

Jika Ael berjalan sendiri, Ael malah merasa kakinya tak menapak di tanah, lebih merasa kalau ia sedang melayang. Kalau boleh dibilang, Ael tak dapat merasakan tangan kirinya yang diinfus, mati rasa, entah mengapa.

Baru saja mereka berada di luar ruangan, mereka dapat melihat Erlang yang tengah ditampar oleh papanya, di depan ruangan sang mama. Jarak mereka cukup dekat, mungkin hanya berjarak 10 langkah kaki dari ruangan Ael.

Ini sudah malam, kira - kira masih pukul 9 malam, tapi koridor sudah sangat sepi. 

"Kok nilai bahasa inggrismu jelek?"

"Udah dibilang aku ga suka pelajaran itu!"

"Yaudah, papa pindahin kamu ke Havana."

Erlang mendelik, "Kok makin ngadi - ngadi sih?"

Suara tamparan kembali terdengar menggema di koridor, membuat Lian maupun Ael yang menyaksikannya meringis, sedang Ael mengelus pipinya sendiri. Beruntung Lian belum pernah menampar pipinya, mungkin? Seingat Ael, Lian belum pernah main tangan.

Malah sang bunda yang suka main tangan.

"Kalau kamu ga mau ke Havana, papa kirim kamu ke Paris, bodo amat mau kamu mati di sana karena ga paham bahasa Perancis intinya kamu harus sekolah di sana, ga ada penolakan."

Sang papa pergi meninggalkan Erlang yang masih mengelus pipinya sendiri yang nampak memerah karena tamparan dari ayahnya. Erlang menghela nafas kasar, lantas menatap terkejut ke arah Lian dan Ael yang masih ada pada posisinya.

"Ga enak ya jadi anak orang kaya, mana orang tuanya pemaksa." Celetuk Lian yang langsung di hadiahi pukulan kecil dari Ael, sedang Erlang hanya terkekeh.

Efemeral | Bbangsun ft. Yunho [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang