Epilog : Berkesudahan

168 12 12
                                    

Sudahi semuanya, kawan

...

Lian menutup buku bersampul cokelat yang tampak tua itu, menghela nafas lantas menatap ke arah ombak yang berdesir. Kisah kedua insan yang saling mencintai itu berakhir, benar - benar berakhir dan sudah tidak ada yang berlanjut.

Lian yang menulis kisah itu, dalam sebuah buku yang ia simpan erat - erat, tak membiarkan siapapun melihatnya. Hanya ia yang boleh membacanya, hanya ia yang boleh melihatnya, hanya ia yang boleh memegangnya, ia tak ingin ada tangan serta mata kotor yang membaca dan memegangnya, buku itu benar - benar suci bagai sebuah kitab.

Angin berhembus menerpa kulit juga surai biru nya, membawa ketenangan untuk pemuda berusia 32 tahun itu, yang benar - benar sudah kehilangan semua orang yang ia sayang. Ael, Sinha dan Erico, semuanya sudah sirna dari hadapannya, menghilang dan mungkin tak akan kembali.

"Kaka, tak ingin makan malam, kah?"

Lian menatap ke arah pemuda yang selalu menemaninya selama ini, selama 2 tahun ia hidup di Sumba, salah satu daerah serasa surga yang ada di kepulauan Nusa Tenggara Timur. Entah ada angin apa, ia lebih memilih untuk tinggal di Sumba, sebab ia tak yakin untuk pulang ke Medan.

Memang, disini sinyal sangat sulit di dapatkan, tapi ia merasa kalau hidup disini benar - benar seru. Ia tinggal dan bekerja disini, meninggalkan Jakarta yang penuh polusi, digantikan dengan Sumba yang lebih bersih.

"Sudah lebih dari satu jam kaka berdiri disana, tidak lelah, kah?"

Lian hanya tersenyum, "Pantainya indah, enak dipandang, lelah menguap sudah ke udara."

Si pemuda yang lebih muda 1 tahun dari Lian itu mendengus, "Bilang saja kaka masih sedih, toh, tak apa, ikhlaskan semua, kaka juga berhak bahagia, sudah dua tahun ini, dua tahun, ayo kaka, yang lain sudah menunggu kaka untuk berkumpul bersama."

Si pemuda berjalan lebih dulu meninggalkan Lian yang masih berdiri, "Irsan memang cerewet banget."

Lian sedikit terkejut kala lengan kecil nan lentik melingkar di lengannya setelah si pelaku berkata demikian. Saat Lian menoleh, ia tersenyum, mendapati seseorang yang menemani dirinya selama di Sumba, yang merangkulnya juga lebih mengerti keadaannya. Yang mengatakan bahwa tak semua orang meninggalkannya.

"Sama kaya kak Hwayne." Yang dipanggil Hwayne itu hanya terkekeh mendengar ucapan Lian.

"Mending kita makan sama Irsan dan kawannya, laper nih, masa kamu ga laper?"

Lian mau tak mau menuruti perkataan Hwayne, sebelum bibir mungil Hwayne mengeluarkan kata - kata mutiara untuk dirinya. Benar saja, disana sudah ramai, ada Irsan pula teman - temannya yang tengah makan besar.

"Weh kaka Lian, datang juga rupanya!" Pekik Irsan kala melihat Lian juga Hwayne datang, lantas bergabung dengan mereka.

"Kebetulan juga, kami ada lagu untuk kaka Lian, juga dengan pacarnya itu." Mereka semua seketika tertawa mendengar ucapan salah satu kawan Irsan yang tengah membawa gitar. 

"Ari, ada ada saja." Kata Hwayne dengan pipi yang bersemu, sedang mereka kembali tertawa melihat pipi Hwayne yang bersemu.

"Malu malu rupanya, ada rikues rekues ah apalah itu, mau lagu apa?" Tanya Ari sembari memetik salah satu gitarnya.

Hwayne tampak berpikir, susah sinyal disini membuat dirinya jarang mendengarkan musik. Namun, ada satu lagu yang selalu mengingatkan dirinya dengan Lian, dan ia juga menyimpan kunci gitar dari lagu tersebut, berniat ia jadikan bahan untuk belajar memainkan gitar.

Ia membuka ponselnya dan membuka galeri foto, lantas memberikannya pada Ari. Ari menganggukkan kepalanya, lantas mempersilahkan Hwayne untuk bernyanyi.

Hwayne menatap ke arah Lian, mengambil nafas dalam - dalam, sedang Lian agak sedikit bingung ditatap sebegitu intens nya oleh Hwayne.

Efemeral | Bbangsun ft. Yunho [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang