Chapter 3

149K 574 2
                                    

Damn it.

Fuck.

Gue nggak tahan, ya, Tuhan.

Ini susah banget gue kendaliin. Nafsu udah nguasain gue. Tubuh gue gemetar. Gue mengocok batang gue sambil menggeram buas dalam posisi setengah telungkup di depan selangkangan Thalia yang basah. Selangkangan temen gue. Sahabat gue. Orang yang selama ini gue lindungi dari hal-hal semacam ini. Tiap ada orang yang nyakitin Lia, gue marah, gue ingin menghancurkan wajahnya, sekarang gue melakukan hal yang gue benci itu ke dia.

Tapi... gue nggak sanggup menahan godaan ini.

Gue tinggal maju doang, dan memek Thalia bakal terpagut sama mulut gue. Gue akan bisa merasakan lendirnya di lidah gue, mencicipi bagaimana rasa dari aroma segar yang khas itu di indra pengecap gue. Ah, kontol gue sudah ereksi maksimal. Gue meludahi jari gue, meratakannya di batang gue dan mengurutnya pelan, penuh tekanan. Sementara mata gue nggak henti-hentinya menikmati pemandangan tubuh bugil Thalia dan kemaluannya yang basah, bibir gue mengerang, otak gue terus menimbang-nimbang... haruskah ini semua gue teruskan?

Thalia masih terbaring defenseless. Satu tangannya di atas perutnya yang pipih. Gue memandangi pusarnya yang kecil kemerahan. Gue ingat dia pernah ingin menindiknya, tapi gue bilang jangan saat dia meminta pertimbangan gue. Thalia selalu dengerin gue. Sampai sekarang dia nggak pernah melakukannya.

Tangan Thalia yang lain terselip di bawah kepalanya. Gundukan dadanya benar-benar fenomenal. Besar dan padat, bahkan dalam posisi telentang, tetap membola besar. Gue melupakan kelaminnya lagi, menunda hasrat gue dengan melakukan sesuatu yang lebih kecil risikonya. Dengan batang terkocok di atas kewanitaan Thalia, gue menunduk lagi dan menjilati putingnya.

Gue menajamkan lidah, menyentili puting mancung yang makin keras terasa getarannya di lidah gue itu. Gue memejam, menjilat dan menggetarkan putting Thalia dari samping. Batang gue terus terkocok, gue berharap bisa muncrat tanpa menjamah kelamin Thalia tanpa persetujuannya. Gue menggesekkannya dengan pinggul sintalnya, batang gue berkedut, tapi gue belum bisa merasakan lonjakan orgasme, dan akhirnya malah terasa stuck.

Gue terus mencari-cari cara. Gue mulai mengulum lagi seperti tadi, mengenyot-ngenyot dengan nyaman, menikmati waktu gue menggagahi payudaranya yang montok dengan leluasa. Kalau dadanya nggak naik turun menandakan dia masih bernapas, gue nggak akan percaya dia hanya tidur, bukan mati. Gue memperlakukannya seperti boneka sex milik gue sendiri. Tangan gue yang menganggur meremas dan meraba, memilin-milin putingnya yang nggak lagi gue gigit dan tarik gemas dengan bibir gue, tangan gue di bawah terus mengocok. Sesekali, gue gesekin ngebelah memek Thalia yang seakan mencumbu basah.

"Mmmh... mmmhhhh...," Thalia mendesah dalam tidurnya. Gue menunduk menghirup napasnya. Nggak ada bau alkohol.

"Ssshhh...," desis gue, ngebujuk Thalia supaya tetap lelap. Thalia menggeliat resah, kepalanya berpaling dan mendongak. Mungkin dia ngira ini cuman mimpi. Persis kayak aslinya kalau lagi bangun, tidurnya pun dia penurut.

Kadang, hal itu juga yang bikin gue sebel sama dia. Gue mengecup pentilnya dengan bibir gue yang mengerucut, kemudian gue merangkak di atas tubuhnya dan mulai menciumi bibirnya yang setengah ngebuka. Thalia mengerang dengan kelopak mata mejam rapat. Gue gauli mulutnya sesuka gue. Gue jejalin pakai lidah gue, dan gue belit lidahnya di salam sana. Ada kalanya dia merengek nggak nyaman, dan anehnya semua dilakukannya dalam keadaan tidur pulas. Gila... pantas aja video seks-nya hampir kesebar tahun lalu di kampus.

Gue nggak tahu apa yang ada di pikirannya. Dia tuh cakep, semua cowok mau jalan sama dia, tapi sebagai pacar dia selalu aja ngebucin seolah dia nggak pantas dicintai siapapun, dia suka ngejar seorang cowok yang udah nggak demen sama dia lagi, mohon-mohon, dan akhirnya mau ngelakuin apa aja. Ujungnya, gue harus pasang badan ngebenerin segala kebodohannya.

TEMAN TAPI BERCINT4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang