Chapter 2

176K 573 0
                                    

Gue semakin bernafsu sementara Thalia malah mendengkur halus.

Kulit Thalia begitu bersih, nyaris bening, aroma tubuhnya juga sangat harum. Gue mengangkat tangannya ke atas, ketiak bersihnya gue hirup dan jilat. Kontol gue yang berada di antara dua belah daging bokong sekalnya semakin kencang. Dari belakang, kepala gue maju ke depan menyambut pentilnya yang gue dorong ke samping. Ujung lidah gue beradu dengan puncak payudaranya yag mengeras.

Jari-jari gue sudah menjelajahi seluruh tubuhnya, malahan udah sempat menggesek miliknya yang sempit kejepit paha di bawah sana. Tapi, gue nggak berani melanjutkannya. Punya Thalia udah agak lembab. Mungkin reaksi alam bawah sadarnya ngerespons rangsangan gue di putingnya. Gue menciumi pundaknya sambil terus meraba-raba teteknya yang besar. Mulut gue menggeram-geram gemas. Nggak tahan. Gue memijat-mijat lembut susunya, pinggulnya, meremas-remas bokongnya. Semua gue lakukan dengan pelan, takut Thalia bangun. Tali bra-nya udah melorot ke lengan gara-gara gue gigit dan tarik dengan gemas waktu jari gue milin-milin pentilnya. Pentilnya yang lemas mengeras cepat di jepitan jari gue. Thalia sesekali mendesah, tapi dia sama sekali nggak terjaga.

Gue benar-benar dibikin pusing sama ulah gue sendiri.

Sekarang, batang gue udah nggak bisa masuk seluruhnya ke boxer gue lagi. Penis gue emang gede dan panjang, kalau ereksi, dia bakal bikin boxer gue nggak bisa nutupin. Kepala penis gue udah mengintip dari balik karet boxer, lengkap dengan cairan precum beningnya. Nekat, gue ngelepasin kait bra Thalia di punggungnya. Gue bikin dia tengkurap dan gue jelajahin seluruh tubuhnya dari pundak sampai ke bokong dengan kecupan. Gue benamkan muka gue ke bokongnya, gue gigitin daging kenyal yang padat itu sambil gue ulenin mirip adonan.

Gila nih cewek, dibeginiin masih tidur aja.

Gue sampai mastiin dia tidur beneran atau enggak dengan memencet hidung mancungnya. Thalia mengorok kencang gara-gara jalan napasnya gue sumbat, tapi habis itu dia mendecap-decap lagi, sama sekali nggak bangun.

Gue dudukin bokong Thalia yang montok dan gesekin batang tegang gue di antara pipi pantatnya. Thalia masih pakai celana dalam hitam yang kontras banget dengan kulit putih mulusnya, bikin gue makin bergairah ngeliatnya. Gue merunduk mengecup tengkuknya setelah rambut panjangnya gue singkap. Lengan gue menelungkup tubuhnya dan menangkup dua gunungan daging padat Thalia dengan tangan gue. Gue pijat-pijat dalam kesempitan ruang gerak gue, bikin daging lembut itu tergencet dan meleber keluar dari balik ketiaknya. Sambil mainin putingnya, penis gue yang makin ereksi menggeliat-geliat membelah belahan bokongnya.

Gue entak-entak pinggul gue di bokongnya, bikin penis gue makin meronta minta dilepaskan.

"Liaaa...," desah gue, mengulumi cuping telinganya. Badan Thalia wangi banget, hangat, gue mabuk kepayang. Entah wewangian apa yang dia semprotin ke nadi lehernya, tapi gue suka. Darah gue menggelegak. Bulu kuduk gue meremang. Gue semakin nggak tahan dan nggak tahu gimana ngehentiin kenakalan gue ini. Thalia nggak merespons, tapi juga nggak ngelawan. Gue makin bingung, haruskan gue hentikan semua ini?

Fuck. Gue nggak bisa.

Gue malah ngebalik badan Thalia dengan hati-hati dan ngebuat tubuhnya telentang di bawah gue. Thalia terkulai pasrah, kepalanya ngedongak ke atas. Bibir ranumnya ngebuka sensual. Belum lagi warna putingnya yang bikin liur gue hampir menetes. Napas gue tertahan. Anjing. Cantik banget. Maksud gue... gue selalu tahu Thalia cantik, tapi gue nggak pernah nyadar dia semempesona ini. Paras tidurnya benar-benar tenang dan pasrah, seperti orang mati yang terlihat lelap. Dia kayak jasad baru yang terkulai lemah nggak berdaya di kamar mayat, bedanya, tubuhnya hangat, jantungnya berdegup lembut dan tenang, setiap jengkal kulitnya luar biasa lembut.

Gue nggak mampu menahan hasrat dan berbaring rendah ngehimpit tubuhnya. Dada gue menggencet dadanya yang bulat dan gue gesekin sehingga rasanya benar-benar hangat dan nyaman. Pentilnya yang ereksi menggesek pentil gue, syaraf-syaraf gue bagaikan tersengat aliran listrik. Di bawah sana, batang gue terpijat nyaman oleh lipatan kecil kewanitaan Thalia yang terasa lembab da hangat meski masih terbungkus rapat oleh panries-nya. Gue melekatkan bibir di bibir Thalia yang ranum. Gue kulum dan isap bibir bawahnya yang lembab dan basah. Thalia menerima tanpa membalas, persis kayak gue mengulum bibir boneka.

TEMAN TAPI BERCINT4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang