SATU

656 33 1
                                    

"Eh, kau yang duduk di sana," kata Moreno, setelah bel berbunyi yang menandakan waktu tadarusan telah habis. Dia menunjuk gadis yang menarik perhatiannya. "Nama kau siapa?"

Gadis itu langsung cepat-cepat menutup Al Quran-nya dan mengangkat mukanya. "Saya....Asha Bella, Kak," jawabnya dengan gemetar.


**

Moreno menghela napas berat saat Pak Kepala Sekolah mengumumkan tak ada masa orientasi siswa ("MOS")di Sekolah Bangsa Perdana pada tahun itu. Banyak pihak yang melarangnya, dari orangtua murid dan para guru. Mengingat tiga tahun belakangan sekolah itu menjadi sorotan karena kekerasan yang dilakukan oleh para senior.

Moreno, sang ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah ("OSIS") keberatan dengan keputusan Pak Kepala Sekolah. Selama sekolah selain dia menimba ilmu dan menambah jaringan pertemanan, dia juga berusaha keras untuk menjadi Ketua OSIS. Untuk menjadi Ketua, dia tidak hanya mendapat suara terbanyak, tapi juga harus memenuhi syarat untuk menjadi kandidat yaitu tidak ada nilai di bawah delapan puluh lima di rapornya.

Bagi Moreno menjadi ketua OSIS adalah salah satu caranya untuk melampiaskan dendamnya saat dia masih jadi junior, di mana dia ditindas oleh senior-seniornya. Masih menempel di memorinya, saat dia dikerjai jalan jongkok di lorong, membelikan makanan pada senior pembimbingnya, dan yang paling parah dia tidak boleh masuk pada hari terakhir masa orientasi karena dia lupa memakai gesper.

Itu menyebalkan!

Bukan tanpa alasan Moreno Danishwara disiksa seperti itu. Sebenarnya, di balik kekerasan senior-seniornya, Moreno dikagumi oleh mereka. Moreno memiliki wajah yang rupawan dan berasal dari keluarga yang kaya. Di hari pertama masa orientasi dia memarkir mobil sport-nya di parkiran sekolah. Tak heran mengapa senior-seniornya geli untuk mengerjainya.

Tetapi apapun alasannya, Moreno masih menyimpan dendam itu. Bukan untuk para seniornya, melainkan untuk para juniornya. Dia ingin melakukan hal yang sama pada adik kelasnya. Sayang sekali, Pak Kepala Sekolah menggeleng saat Moreno mengajukan permohonan untuk diadakan masa orientasi.

"Semua anggota OSIS dan majelis perwakilan kelas menyetujui dengan ide saya, Pak," ujar Moreno. Berbicara empat mata dengan Pak Fedi di ruang kepala sekolah itu tidak membuat Moreno tegang sedikitpun. "Angkatan yang baru masuk perlu diajarkan tentang solidaritas, lingkungan sekolah kita seperti apa, dan bagaimana mereka bersikap di sekolah ini."

"Kau tahu kan, yang masuk sekolah ini tidak berdasarkan nilai ujian nasional mereka, melainkan tes dan wawancara?" sahut Pak Fedi tenang. "Selama wawancara itu tentu mereka diberitahu bagaimana menghadapi lingkungan sekolah kita, Moreno."

"Saya juga masuk sekolah ini melalui tes, Pak. Dan saya rasa nasihat yang diberikan oleh guru belum cukup. Dengan adanya masa orientasi siswa, mereka bisa mengenal satu sama lain, dan bisa saling mengenal kakak kelas mereka. Tidakkah itu baik, Pak?"

Pak Fedi terdiam. Lalu menjawab, "Ketua komite dan para guru sudah bersikeras untuk menghentikan kegiatan masa orientasi siswa itu, Moreno. Semua pihak menganggap kegiatan itu hanya merusak psikis semua anak baru."

"Jadi, begitu..." gumam Moreno. "Sekolah ini hanya mengajarkan secara akademis. Tidak meningkatkan kemampuan sosial. Apa itu berguna, menurut Bapak?"

"Mengapa kau bersikeras sekali, Moreno? Bukankah kau salah satu korban dari senior-seniormu dulu?"

"Saya hanya ingin aspirasi saya didengar, Pak. Sekarang Bapak lihat sendiri. Saya mungkin bandel, tetapi saya dipercaya menjadi ketua OSIS. Dan saya yakin, yang memilih saya sebagai ketua adalah orang-orang yang saya kenal pada saat masa orientasi."

Love Me, Abel | Prequel Ketidaksetiaan Pak DirekturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang