TUJUH

58 8 1
                                    

Tempatnya di pinggir Pantai Ancol, ketika tubuh Satria dijatuhkan dari mobil sedan, pada dini hari. Mobil itu meluncur pergi meninggalkannya setelah orang-orang yang di dalamnya memastikan dia tak akan sanggup terbangun.

Tak ada orang di sana selain dirinya yang terhampar di pasir seperti sampah. Dia meringis kesakitan. Darah tak berhenti mengucur di kepalanya. Wajahnya lebam. Seragam SMA-nya diwarnai oleh darah.

Hari itu adalah hari tersial bagi Satria. Ketika bel pulang sekolah berbunyi, dia ditarik oleh geng pentolan SMA Bangsa Perdana. Dia dibawa ke sebuah markas yang letaknya tak jauh dari sekolah.

Di sana dia dipukuli habis-habisan. Tubuh Satria yang kurus kerontang itu tak bisa melawan mereka semua terutama Moreno. Didengarnya Moreno berteriak padanya, "Jangan pernah lo deketin Abel lagi, ngerti?!!"

Satria memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencerna kalimat itu karena wajahnya sedang dihajar oleh si anak buah sang ketua. Dia tidak merespons Moreno. Yang dikhawatirkannya saat itu justru Asha Bella.

Abel gadis manis itu....

Mengapa kau harus secantik itu, Bel, keluh Satria kesakitan. Karena kecantikanmulah kau harus menderita. Moreno takkan tinggal diam setelah mengenyahkan aku. Dia mungkin akan melakukan hal yang lebih menyakitkan padamu, Abel.

Setelah digebuki habis-habisan, Satria diangkut ke dalam mobil yang membawanya ke Pantai Ancol. Di sana dia didorong keluar dari mobil sampai dia terguling-guling di jalanan.

Saat itu suasana Pantai Ancol sangat sepi, hanya dia dan mobil yang berisi anak geng itu dengan Moreno yang mengemudi. Mobil itu meninggalkan Satria seorang diri di tengah kegelapan. 

Satria terkapar lemah dan berusaha untuk bangkit. Dan..ah! Tulang rusuknya sakit sekali. Pasti itu karena kumpulan anak geng itu menghajarnya habis-habisan!

Untung saja anak-anak geng itu tidak mengambil dompet yang ada di saku celananya. Dia mendekati telepon umum yang sangat jauh bagi orang yang baru saja digebuki.

Nomor yang diingatnya adalah nomor telepon rumah Abel ketika dia meraih gagang telepon. Satria yakin Abel masih bangun. Tadi siang saat istirahat, dia bertemu dengan gadis itu di kantin dan gadis itu mengeluh tugas seninya tak kunjung selesai padahal dia sudah dikasih waktu dua minggu oleh gurunya. Dan itu artinya Abel harus begadang.

Abel, angkat dong, desis Satria tak sabar. Tak lama kemudian dia mendengar suara Abel, "Abel, kau lagi di mana? Kau bisa nolongin aku?"

"Ya Allah! Kak Satria lagi di mana?!" Terdengar suara Abel yang penuh kekhawatiran.

"Aku....aku ada di...Pantai Ancol..., Abel... Aku mau mati rasanya.."

Satria tak bisa melanjutkan omongannya. Dia jatuh pingsan. Di rumahnya sendiri Abel mengerjap panik. Dia memanggil ayahnya untuk memberitahu keberadaan Satria.  Ayah Abel kemudian menelepon orangtua Satria. Mereka berada di luar kota dan memohon pada ayah Abel untuk segera menolong Satria.

Ayah Abel tidak tinggal diam. Dia meminta bantuan dari rumah sakit terdekat dari Ancol. Sial, saat itu ambulans sedang tidak tersedia dan harus menunggu entah berapa lama. Ayah Abel yang tahu betapa gawatnya keadaan Satria saat itu, pergi bersama Abel ke Pantai Ancol.

Satu jam kemudian mereka tiba di Pantai Ancol. Mereka melihat Satria telentang di bawah sorotan lampu oranye. Abel dan ayahnya turun dari mobil, membantu Satria duduk di jok belakang mobil. 

Abel duduk di samping Satria. Dia tak henti-hentinya menangis ketika dirinya memangku kepala Satria. Digenggamnnya tangan Satria erat-erat.

Satria tak bisa membuka matanya, tetapi masih bisa berkata, "Jaga dirimu baik-baik, Bel. Jangan mudah percaya pada orang lain."

Dia tak peduli dengan apa yang dikatakan Satria. Dia tidak peduli jika dia harus bernasib sama dengan Satria. Mengapa Satria harus mengalami hal ini? Satria tidak seharusnya mendapat perlakuan seperti itu. Dia pemuda yang baik.

Nyawa pemuda baik itu harus pergi untuk selama-lamanya ketika di perjalanan. Abel tak bisa percaya pemuda itu tak bernapas lagi. Meski wajahnya tampak lebam dan membiru, Satria pergi dengan tenang. Tangannya yang digenggam oleh Abel melemas, dan terlepas dari tangan Abel. Tetapi Abel menariknya dan menggenggamnya lagi.

Tuhan! Mengapa secepat ini Engkau ambil orang yang aku sayangi, Tuhan?


**



Suasana pemakaman di San Diego Hills sangat ramai. Abel tidak merasa heran. Satria adalah orang baik dan teman-temannya tidak sedikit. 

Sayang sekali. Murid yang supel dan disenangi teman-temannya itu harus pergi. Harapan orangtua pemuda itu harus hilang selamanya. Padahal setiap Abel ke rumah Satria untuk belajar, ibu Satria selalu mengutarakan keinginannya memiliki anak dokter. Satria hampir saja mewujudkan keinginan orangtuanya, jika dia tidak berhubungan dengannya.

Semua orang memusuhi Abel. Mereka beranggaapan Abel-lah penyebab Satria meninggal. Itu karena Abel telat untuk menolong Satria. Tak ada yang tahu kejadian sebenarnya, siapa yang menyebabkan Satria harus pergi.

Untung saja orangtua Satria yang sudah sampai di Jakarta pada siang harinya tidak menyalahkan Abel. Mereka tahu kejadian yang sebenarnya, dari buku harian Satria. Di sana juga tertulis bahwa Satria menyukainya sejak lama.

Ayah Abel datang lebih dulu ke pemakaman Satria, sementara Abel tak sanggup untuk turun dari mobil. Dia tak bisa menerima kenyataan Satria sudah tiada. Sosok yang menggantikan abangnya sudah meninggal!

Setelah setengah jam menangis di mobil, Abel memberanikan diri untuk menghampiri makam Satria. Teman-teman sekolahnya langsung menyingkir, menatapnya dengan sinis, dan mencibirnya.

Abel tidak peduli, seolah-olah telinganya sudah tuli. Dia menaburkan bunga di atas makam Satria, dan berdoa untuk waktu yang lama, sampai tak sadar semua orang telah meninggalkannya seorang diri di sana.

Ayahnya mengirimkannya SMS bahwa Ayah menunggunya di mobil. Abel tidak membalasnya, dia terus menatap makam Satria dengan sedih. Dia bahkan tidak tahu harus berbuat apa. Semuanya terasa mimpi buruk baginya.

Jika itu mimpi, Abel ingin sekali bangun, dan mengetuk rumah Satria yang berada di seberang rumahnya. Tetapi itu bukan mimpi. Satria sudah ada di surgasana. Ketika Abel pulang nanti, dia tak bisa membayangkan akan melihat rumah Satria dan harus mengekang hasratnya untuk mengetuk rumah sahabatnya itu.

Tak lama kemudian, sosok Moreno berada di sebrangnya. Abel mengangkat mukanya, melihat orangtua Satria menegur Moreno.

"Kau ada di sini, Reno," kata ayah Satria kaget.

Abel menyipitkan matanya. Jadi Moreno kenal dekat dengan keluarga Satria?

"Tentu," sahut Moreno menatap ayah Satria itu disertai pandangan dingin. "Dia teman seangkatan saya, Pak Gilang, dan sudah seharusnya sebagai teman saya datang, kan?" Rahang Moreno mengeras. Dia bicara lagi, "Saya turut berduka. Pak Gilang pasti terpukul."

Moreno berdoa sejenak, lalu menatap mata Abel yang kosong. Gadis itu tampak pucat dibalut short-dress berwarna hitam. Kontras dengan kulitnya yang putih. Membuat Moreno menelan ludahnya yang terpukau karena kecantikannya padahal saat itu orang-orang sedang dalam keadaan berkabung.

Seumur hidupnya, si Moreno tidak pernah merasa berdosa. Baru kali ini dia merasakannya, ketika melihat gadis yang dia sukai tampak sedih karena dirinya.

Moreno merasa hatinya sedih melihat Abel mengangkat mukanya dan menatapnya. "Aku baru tahu Kak Moreno dekat dengan Kak Satria."

Pemuda itu berdiri, dan membalas tatapan Abel dengan tajam. "Gue dan Satria beberapa kali dipilih sekolah untuk jadi peserta olimpiade. Tentu kita saling mengenal."

Untuk sesaat, Abel merasa takut ditatap seperti itu. Tetapi rasa takut itu tak ada gunanya. "Kakak tidak punya hati."

"Kenapa?"

"Kakak tidak berbuat apa-apa saat anak geng melakukan ini pada Kak Satria. Atau jangan-jangan..."

"Gue sama yang lain nggak terlibat," jawab Moreno dingin. "Kalau pun iya, nggak ada yang bisa dilakukan, kan? Satria sudah tidak ada." Kemudian Moreno menatap ayah Satria dengan senyuman sinis di wajahnya.

Love Me, Abel | Prequel Ketidaksetiaan Pak DirekturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang