DUA BELAS

80 9 1
                                    

Abel kembali ke topik yang membuatnya menemui Alex atau Moreno, persetan. Dia tidak peduli. Disodorkannya pria itu selembar surat utang. Pria itu hanya melihat sekilas dan terliha ttidak tertarik. "Apakah kau bisa....."

"Membantu melunasi utang kakakmu? Menurutmu bisa semudah itu orang mengeluarkan uang?"

"Kalau begitu saya datang sia-sia, Kak Moreno."

Kini Moreno menatapnya dengan tajam. Kak Moreno. Terakhir kali Moreno mendengarnya sudah lama sekali.

Entahlah, ada keengganan dalam hati Moreno untuk mendekati Abel setelah Abel pindah sekolah. Setiap dia berusaha untuk membuat komunikasi dengan Abel, yang terbayang di benaknya adalah wajah Satria yang bersimbah darah.

Dia tidak serta-merta melupakan Abel. Begitu dia mendengar Abel pindah ke Prancis, Moreno belajar dengan tekun agar dia bisa cepat mendapat pekerjaan di perusahaan kakeknya dan menyusul Abel ke sana.

Ketika sudah memenuhi syarat dan dia mampu ke Prancis pun fokusnya beralih, dari ingin mencari Abel, malah menemukan tempat yang menurutnya adalah surga dunia. Tempat perjudian.

Dia tahu, dari remaja dia sudah ditakdirkan menjadi bajingan. Tempat perjudian itu menjadi sarang dia berlibur dua tahun belakangan ini. Judi bukan hanya nikmat, tetapi untuk Moreno yang pandai bermain kartu, itu adalah keuntungan yang besar baginya.

Tempat perjudian mengalihkan dirinya dari misinya. Dia lupa mencari Abel. Sampai dia tahu pemilik kasino tempatnya berjudi adalah kakak tiri Abel. Dan dia ingin Abel yang mendatanginya.

Melalui cara yang belum diketahui Abel. Dia yang memberi syarat pada Charles bahwa dia akan membantu Charles melunasi utangnya asalkan Charles bisa membawa Abel padanya. Charles yang mementingkan bisnis daripada persaudaraan pun setuju.

"Tidak ada keuntungan untukku kan jika saya menuruti permintaan kakakmu, Abel?" kata Moreno lagi.

"Saya bisa memberikan apapun yang Kak Moreno mau," sahut Abel bersikeras. "Untuk saat ini tolonglah dia? Dia bilang, hanya Alex yang bisa dia percaya, dan punya kemampuan untuk membantunya. Aku akan bantu melunasi utangnya, tapi kalau bisa, bunganya jangan tinggi-tinggi."

"Asal kau tahu, uang tidak bisa membeli saya, Abel. Dan saya tidak tertarik jika jaminannya hanya uang. Ada yang lebih baik daripada itu." Dan itu kau.

"Lalu apa yang Kak Moreno mau?"

"Kau." Melihat wajah Abel merona, Moreno berkilah, "Sekararang kau kerja apa? Artis?"

Abel menyipitkan matanya. Dalam hati ingin tertawa. Artis? Abel tidak memiliki bakat menjadi artis. Dia tak bisa melakukan apa-apa yang berkaitan dengan seni. Dia kemudian menggeleng. "Tidak."

"Lalu?"

"Saya pengusaha kedai kue di Paris."

"Biar kutebak. Couche Gâteaux Boutique itu kedaimu?"

"Ya, dan kali ini saya tidak terkejut. Charles sering mengajak rekan-rekan kerjanya ke kedaiku. Ya... Kak Moreno pasti pernah ke sana."

"Ya, Charles cukup aneh dalam hal menjamu rekannya. Dia tidak mengajakku minum di bar melainkan di kedai kue. Tetapi, Abel..." Moreno diam sesaat, lalu melanjutkan, "Oke, saya pertimbangkan permintaanmu tapi kau juga harus pikirkan apa yang bisa kau beri untuk mengganti uang yang saya pinjamkan. Selain uang, tentu saja. Sekarang kau boleh meninggalkan rumah saya."

"Terima kasih," kata Abel. "Bisakah Kak Moreno meminta pembantu Kakak untuk memanggilkan taksi?"

"Apa kau tidak tahu gunanya handphone?" sahut Moreno nyinyir. "Kau bisa jauh-jauh dari Paris ke sini, masa memanggil taksi tidak bisa? Sudah ada aplikasinya lho sekarang."

"Saya tidak familiar dengan hal-hal yang ada di sini," jawab Abel tenang, tidak merasa kesal ditegur begitu.

"Berapa lama kau akan di sini?"

"Ya, secepatnya saya balik ke Paris, tapi untuk hari ini saya akan singgah dulu di hotel."

Moreno diam, berpikir. Lalu menjawab sambil tersenyum jail, "Tinggallah sebentar.Di sini. Bukan, aku tidak bermaksud buruk. Rumah ini terlalu besar untuk dihuni oleh saya seorang, dan tiket ke luar negeri sulit didapat pada akhir tahun."

Lama Abel menatap Moreno, untuk memastikan apakah pria itu benar-benar tidak bermaksud buruk padanya.

Lagipula, untuk apa? Dulu dirinya dengan Moreno tidak dekat, bahkan sekarang juga begitu, tapi yang dikatakan Moreno ada benarnya. Dia belum tentu bisa mendapatkan tiket balik ke Paris. Dan tinggal di rumah Moreno bisa membuatnya berhemat.

Abel mengangguk, menerima tawaran pria itu. Moreno lalu mengajaknya ke ruang tamu. Desain kamar tamu itu menyerupai kamar putri dongeng ketika Abel melihatnya. Entah siapa yang merancangnya, kamar itu terlihat elegan dengan desain sempurna dan romantis.

Ranjangnya yang besar bermodel klasik berwarna cokelat, dan di sekitar ranjang itu terdapat karpet dengan warna senada. Di dekat ranjang ada jendela besar yang ditutupi dengan tirai yang berwarna cokelat juga.

Warna cokelat mendominasi kamar ini.

"Aku harap kau suka dengan kamar ini," kata Moreno yang mengantarkannya ke kamar itu. "Sudah lama tak disinggahi oleh siapapun. Jadi, kalau kau merasa debunya mengganggumu, kau tinggal memanggil pembantuku, Pak Ardi."

Nama Pak Ardi mengingatkan Abel lagi pada sosok Satria. Raut wajahnya pun berubah. Moreno menyadari hal itu. "Kau tahu, Pak Ardi itu dulu bekerja untuk kawanmu Satria itu."

Abel mengangkat mukanya. Mengapa rasanya aneh mendengar pria itu menyebut nama Satria? Suara Moreno terdengar berat dan wajahnya tertekan setiap melisankan nama itu.

"Kak Moreno memiliki hubungan dengan Kak Satria?"

Moreno terdiam sesaat dan menjawab perlahan, "Ya."

"Selain teman seangkatan?"

"Apa kau tidak tahu? Kupikir semua orang di sekolah kita dulu sudah tahu mengapa aku dan Satria tidak akur. Ibuku adalah istri pertama ayah Satria—ayahku juga, sih." Moreno menghela napas, lalu melanjutkan, "Sejak Papa lebih memilih ibu Satria, aku dan ibuku tidak pernah mau berhubungan dengan ayah kandungku."

"Kalian satu ayah?" tanya Abel terbelalak. Jadi itu kenapa dulu Satria bisa bicara seolah mengenal Moreno. Sebab mereka berhuungan darah!

"Ya, Satria adalah adikku. Dia terlalu cepat masuk ke sekolah sehingga kita sempat sekelas."

Abel menatap matanya, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa perkataan Moreno benar adanya. "Hm, maaf. Rasanya sulit dipercaya. Kalian..."

"Sangat berbeda?" Moreno tertawa kecil. "Sudah banyak yang mengatakan itu. Bahkan aku..." yang membunuhnya. "Aku juga berpikir seperti itu."

"Maaf, mungkin karena wajah kalian tidak terlalu mirip."

"Memangnya ada yang mau dimirip-miripkan dengan Satria? Wajahnya juga nggak ganteng-ganteng banget."

Suara siniskah itu? Entahlah. Abel merasa setiap Moreno membahas Satria, pria itu terlihat tidak suka. Mungkin karena Moreno merasa ayahnya direbut oleh ibu Satria. Abel membuang pikiran itu jauh-jauh. Dia tidak biasa berasumsi tentang kehidupan orang dengan imajinasinya sendiri. Itu membuatnya merasa berdosa.

Merasa tidak dibutuhkan di kamar itu Moreno undur diri. Abel melihat kepergiannya dengan kaku. Semuanya terasa aneh.

** I HOPE YOU LIKE THE STORY **

Love Me, Abel | Prequel Ketidaksetiaan Pak DirekturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang