EMPAT

88 15 1
                                    

"Takdir disebabkan oleh teman. Menarik sekali."

Moreno diam. Gadis yang di hadapannya ini....sama menariknya seperti hobinya. Gadis itu bukan hanya cantik. Tetapi pandai bicara. Awalnya Moreno mengira gadis itu adalah gadis lugu yang tak berani bicara dengannya.

Sejak sekolah di SMA Bangsa Perdana, Abel banyak belajar bicara di depan kaca. Dan bukan karena keberanian saja dia berani bicara dengan Moreno. Tetapi, sebagai perempuan yang sangat cinta damai, Abel sangat membenci hal-hal kekerasan. Dan sifat kekerasan dalam diri Moreno harus dimusnahkan.

Jika Moreno berhenti melakukan hal-hal yang berbau kekerasan, maka sekolah itu akan menjadi tenang. Sekarang Abel tahu, Moreno-lah pusat dari segala keributan yang ada di sekolah itu.

"Menarik, ya.." Moreno mulai bicara setelah berpikir mau bicara apa. "Lalu, apa bedanya sama lo? Lo ikutan tawuran juga, kan?"

Abel menggeleng. "Aku ingin menolong Kak Satria. Dia akan rapat Rohis di masjid, dan aku tidak bisa membiarkan..."

Mendengar nama Satria membuat raut wajah Moreno berubah sinis. Hal itu terpampang jelas dilihat Abel.

"Nggak ada yang berani nyakitin Satria," potong Moreno tegas. "Dia ketum Rohis, at least dia salah satu orang yang masih sadar di sekolah ini. Bahkan gue sendiripun orang yang sudah gelap mata."

"Seandainya aku tahu itu." Abel menunduk, menggigit bibir. Menyesal. Jika dia tidak berbaur dalam tawuran tadi, mungkin Moreno tidak akan menolongnya dan terluka.

"Rasa bersalah itu nggak ada gunanya," kata Moreno, seolah mengetahui apa yang dipikirkan Abel. "Gue juga biasa aja. Ini udah biasa, lagi. Gue selalu punya luka setiap tiga bulan sekali dan kamar ini...adalah kamar yang gue desain diam-diam karna gue nggak berani pulang."

Abel mengangkat mukanya. "Apa?"

Moreno tertawa lagi. "Lucu, ya. Di sekolah mungkin banyak yang takut sama gue, tapi di rumah...." Moreno menggeleng. "Di rumah gue adalah anak yang manis."

Memangnya peduli apa kau seperti apa di rumah, gerutu Abel. Aku ingin pulang. Aku tidak betah lama-lama bersama dia di sini!

"Mengapa Kak Moreno memberitahukan hal ini padaku?" tanya Abel tanpa menyembunyikan keengganannya.

Bukannya menjawab, Moreno memandangi gadis itu untuk beberapa saat, membuat Abel semakin tidak nyaman. Suara Moreno melembut, "Kenapa lo mikirin Satria banget? Lo suka sama dia?"

Untuk sesaat Abel tidak tahu harus berkata apa. Suka? Baru juga kenal dengan Satria, masa bisa suka? Tadi Abel merasa khawatir, dan menurutnya khawatir adalah hal yang wajar dirasakan manusia kepada manusia lain, bukan?

"Hati-hati. Lo naksir dia paling disakitin kayak cewek-cewek lain. Dia sering kok PHP-in cewek yang suka sama dia," sahut Moreno tersenyum nyinyir.

Abel menahan kesal mendengar itu. Sok tahu sekali seniornya ini! Abel tidak mengerti apa maksud senyuman itu. Senyuman itu terlihat jail, tetapi sekilas terlihat licik.

"Apa aku sudah boleh pulang?" tanya Abel sesaat kemudian.

"Jangan, tunggu sampai jam lima dan Pak Asep selesai bertugas membersihkan sekolah. Dia DO kedokteran, dan entah nasib apa yang membawanya dan menjadikannya sebagai OB di sekolah ini. Setiap gue abis berantem, dia biasa menjahit dan mengobati gue di sini. Ini kamarnya doi."

Ya, Moreno memang orang gila. Dia benar-benar menjadikan perkelahian adalah hobi. Yang rutin dia lakukan. Dan setiap dia kesakitan, dia akan membutuhkan Pak Asep. Semoga saja terjadi peristiwa yang membuat Moreno kapok melakukannya.

"Tapi sopirku pasti sudah menungguku di depan. Dan jika aku tak kunjung datang, dia akan melaporkanku pada ayahku."

"Dan kalau lo keluar sekarang, bukan sopir lo aja yang bakalan laporin lo. Tapi guru-guru juga. Mereka bakal bilang ke bokap lo kalo lo terlibat tawuran sekolah. Lo mau?"

Love Me, Abel | Prequel Ketidaksetiaan Pak DirekturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang