Odaiba merupakan sebuah pulau buatan terbesar yang berada di Teluk Tokyo, Jepang. Melalui Jembatan Rainbow, kawasan ini dihubungkan dengan pusat kota Tokyo. Tempat ini menawarkan beragam permainan seru, wisata kuliner, perbelanjaan, onsen, serta pemandangan yang mengesankan di siang maupun malam hari.
Bus yang dinaiki Hinata turun di depan Aqua City Odaiba, tepatnya di kafe Monsoon. Berembus sudah penat tak berwujud itu, Hinata pun melenggang santai memasuki kafe. Menyendiri adalah kebiasaan baru baginya sejak memutuskan pergi dari apartemen sang kakak, sebulan yang lalu.
'Kamu mau ke mana, Nat?'
Aku sudah menyewa kos-kosan murah di dekat kampus. Rencananya mulai malam ini aku pindah dan tidur di sana, Kak.
'Loh! Kok mendadak? Kamu kenapa enggak konfirmasi ke Kakak dulu? Main pindah begitu saja. Ada apa sih, sebenarnya? Kakak bingung sama kelakuan kamu.'
Jangan lebay reaksinya, biar Kakak juga enggak bingung. Aku mau coba hidup mandiri, mangkanya ini pindah. Enggak enak menumpang hidup melulu sama Kakak.
'Mengigau kamu, ya? Makan kamu bagaimana? Uang kuliah kamu, terus kebutuhan kamu yang lainnya, mau bayar pakai apa? Kamu 'kan memang tanggung jawab Kakak.'
Iya, benar. Tapi aku belum bisa melakukan apa-apa buat Kakak, aku sungkan kalau terus-terusan dibantu.
'Maksudnya apa, sih? Mutar-mutar kamu bicaranya. Perasaan ... Kakak enggak pernah minta sesuatu sama kamu. Kesungkanan kamu muncul dari mana? Kita ini satu rahim, satu ayah dan ibu. Omongan kamu seolah-olah Kakak orang lain di mata kamu.'
Pokoknya keputusanku sudah bulat, Kak. Aku bakal balik lagi ke rumah. Ya, tapi Kakak doakan juga supaya aku bisa segera mendapat pekerjaan.
'Sudahlah! Makin pusing Kakak gara-gara pemikiran enggak jelas begitu. Awas kalau terjadi apa-apa sama kamu! Kakak akan seret kamu untuk pulang ke rumah.'
Kali kedua napasnya terbuang dan ini lebih berat, "Kangen juga sama kakak. Mau pulang tapi malas ketemu siluman. Malang banget sih nasib kamu, kak! Kayak enggak ada perempuan lain, yang begitu malah dijadikan pacar." Satu dua orang yang berpapasan dengannya menoleh heran. Gerutuan tadi terdengar jelas di telinga mereka.
Tiba di pojok ruangan, sebuah meja kosong menyita perhatian Hinata. Jendela kaca menjadi alasan utama dia memilih untuk duduk di situ. Selain sepi, dia pula dapat memanjakan mata dengan hamparan pemandangan pulau yang cukup luas.
Usai memesan Mango Parfait kesukaannya, Hinata meraih gadget yang dia simpan di dalam tas selempang. Baru sejemang dia membuka ikon whatsapp, bibirnya tiba-tiba menyeringai lebar. Kata-kata yang terbaca di sana menggelitik kesadarannya. "Maaf, Kiba. Tapi aku benar-benar ingin sendirian saat ini." Karena dia datang seorang diri ke sini, akhirnya Hinata berulang kali bermonolog.
"Nona, ini pesanan Anda."
"Terima kasih." Kata Hinata sembari menyertakan senyuman. Dia langsung menarik dessert buah tersebut dan perlahan menikmatinya, sendok demi sendok.
"Permisi, aku yakin sekali ini tempatku."
Sebait teguran yang langsung menarik atensi Hinata, dia mendongak. "Kamu bicara padaku?"
"Ya. Tadinya aku pergi sebentar ke toilet."
"Ah! Kupikir enggak ada orang yang duduk di sini." Satu sendok parfait mendarat ke mulutnya selagi dia menerangkan secara terbuka, seraya tak lepas netranya terkesima pada sosok pria di depannya. "Punyamu?" Ada segelas parfait mangga di balik vas bunga dan sekarang Hinatq mempercayai pengakuan si pria. "Maaf, ya. Aku tidak melihatnya dan saat ini aku sedang menikmati hidanganku. Bisakah aku tetap di sini sampai makananku habis?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTOLOGI
FanfictionKumpulan cerpen AU couple NH. Edisi ide dadakan sayang dibuang.