Onsen

206 40 21
                                    

Mendadak lupa kapan terakhir kalinya dia bisa menikmati hidup tanpa abai terhadap kesenangan dan nikmatnya dunia. Naruto Uzumaki berkorban banyak sebelum merelakan dirinya berimigrasi ke Asia Timur demi dapat menikahi perempuan cantik idola masyarakat, artis yang tengah melambung namanya di kancah hiburan Sumire Kairi.

Satu hingga ke tiga tahun pernikahan mereka, segalanya berakhir baik. Mereka layaknya pasangan normal haus kemesraan. Mire suka sentuhan go public. Dia berani dengan leluasa menyentuh suaminya secara intim, saling menggenggam rapat jemari, bergandengan, bersinggungan, cubit-cubitan kecil. Sekalipun sebuah ciuman panas di lobi, di tempat parkir atau lokasi-lokasi umum lainnya, Mire memang tipikal buka-bukaan. Lalu, Narell Neilson a.k.a Naruto Uzumaki menerima suka cita polah tingkah istrinya demi kesenangan si pujaan hati. Di satu sisi pribadi, dia bersyukur mengenai istrinya yang tidak keberatan menunjukkan hubungan mereka ke hadapan para penggemar.

Tahun ke empat, berangsur-angsur suasana yang melingkupi ke duanya berubah hambar. Naruto sering kedapatan berpikir keras, dia melamun. Studionya terasa hampa, seakan kehabisan ide untuk menggoreskan kuas di permukaan kanvas luas nan kini turut kesepian. Jiwanya benar-benar kosong, Mire berubah.

Ketenaran menarik istrinya menjadi gelap mata, haus kebebasan dan senang-senang pribadi. Nihil batas kesopanan yang mestinya dijaga terhadap posisinya selaku kepala rumah tangga, Mire benar-benar menunjukkan sosok pembangkang dan semena-mena.

Belum lagi masalah rumit saat istrinya tersebut menolak satu-satunya permintaan untuk memiliki anak di dalam pernikahan mereka. Naruto diambang jenuh, dia lelah dan frustrasi. Dia membutuhkan pelampiasan, sesuatu, apapun, siapapun yang sekiranya mampu menggiring dia pada kedamaian lahir dan batin, dia menginginkan penghibur lara.

"Kenapa wajahmu? Jangan begitu di depanku, kau menakutkan, sayang."

"Jam satu, Mire. Janjimu jam sebelas. Dua jam aku menunggumu di rumah seperti orang bodoh--anniversary kita, yang ke empat kandas." Naruto mengerang malas, giginya bergemeretak hendak marah. Namun, segalanya tertelan kecewa saat menemukan istrinya pulang dalam kondisi setengah mabuk dan berantakan. "Siapa yang mengantarmu?!" Penuh intimidasi, tatapan Naruto tidak lagi menunjukkan kasih biasanya.

"Hei, ayolah. Haruskah aku diinterogasi seperti seorang penjahat?! Aku sudah di sini, di depanmu dan kau bisa melakukan apa yang kau inginkan."

"Gagal, kau merusak segalanya. Aku menunggumu untuk hal-hal romantis yang belakangan tahun perlahan hilang dari kita. Apa kau sadar hubungan kita merenggang? Dulu kau sangat menggebu-gebu meneriaki kedudukanku di mata umum. Lalu, apa gunanya aku sekarang? Kau pikir aku sampah? Kapan terakhir kali kau peduli padaku? Aku bahkan tidak lagi merasakan kelegaan seks denganmu, kau pergi setelah kau datang dan puas segitu mudahnya. Kau pikir itu tidak menyakitkan?! Aku mengalah karena kurasa perlu membuatmu merasa tetap baik dan nyaman di sisiku. Aku tidak mengira bisa memaksamu, Mire. Tapi, kau justru makin menjauh dan memperlakukanku seperti seekor anjing. Kau lunak di saat aku hampir marah, merayu dengan kata-kata menjijikkan agar aku bersedia menantimu tanpa kepastian. Lalu, besoknya kau pergi layaknya pencuri. Kenapa? Kenapa kau seperti ini?" Istrinya bergeming, selain menahan panas oleh serangan verbal yang diucapkan Naruto. Agaknya nurani terusik penggalan fakta, seburuk itukah dia?!

"Naru, aku--"

"Tidak. Cukup, Mire! Aku tidak bisa lagi."
Dan Naruto yang menyingkir tiba-tiba dari hadapannya sontak menyebabkan lidah Sumire kelu.

Satu hal lalai dari perhitungan, malam itu merupakan malam terakhir keduanya bersama. Naruto sampai pada batasnya dan memutuskan menghindar dari kosongnya relung sanubari. Hari-hari berlalu dilewati Sumire yang terus-menerus menunggu kepulangannya, kendati sudah sebulan berjalan pun masih jua tiada tanda-tanda presensinya akan kembali.

ANTOLOGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang