Rogue invitation II

173 34 24
                                    

Tidak untuk dicontoh!

>Naruto as Naero
>Hanabi as Hana
>Hinata as Hinata

Note:
-Hana dan Hinata tidak bersaudara/asing
-Komis seharga pulsa 25k

_Selamat membaca_
.
.
.


Bertemu mantan kekasihnya dalam jamuan acara mewah nan kotor demikian tidak sama sekali pernah terlintas di benak Hinata. Dia masih mengingat dengan amat jelas perilaku Naero, pria yang sulit bukan main untuk dilupakan, mungkin mustahil bahkan hingga saat ini. Dia memegang semua poin tinggi untuk deretan predikat pria idaman di mata Hinata. Ganteng, tinggi, maskulin juga wangi, mata yang sendu berikut act of service sebagai hal utama mencandukan bagi Hinata. Dia gagal move on, sepenuhnya begitu. Dan tidak seorangpun tahu bagaimana nama si pria betah menduduki tahta teratas di hatinya yang lembut.

Hanya ...

Naero yang ada di depannya ini seperti begitu berbeda dengan semua penilaian tadi. Tidak mengenai fisik, dia tetap Naero yang atraktif. Justru makin memesona dalam pandang Hinata.

Kecuali ...

Tatapan itu tak lagi hangat, dingin menusuk. Raut datar mengganti betapa manis ketika bibir tipisnya tersenyum lepas. Dia kaku, terlalu diam dan tenang. Tidak juga ramah, seumpama sekadar basa-basi. Ucapannya kasar, menyakiti batin. Tapi, sisi terburuknya adalah dia tetap mengundang. Kendati Naero berdiri tegak tanpa pergerakan berarti, aura  sensual sialnya lebih dari mampu menjeburkan Hinata ke danau gelora terdalam. Naluriah tubuhnya merasakan panas dan sejuk di waktu bersamaan. Telapaknya lembab, berulang kali mengepal demi meredam kegugupan. Enggan beradu visi, melawan dominasi Naero berujung melempar harga diri pada tempat terendah. Hinata takut ketahuan, berupaya sekeras kesadaran agar tidak memancing. Atau tamatlah dia hari ini di tangan cinta pertama satu-satunya di situasi yang dikira 'sungguh salah'.

"Aku sudah menikah, apa kau tahu?"

"Ya, Neji mengatakannya."

"Oh, kenapa tidak datang? Aku sangat berharap bisa melihatmu di sana, waktu itu. Pesta luar biasa persis khayalanmu, 'detailnya'."

"Ini terlambat, tetapi selamat untukmu." Bertahan menunduk, menjaga jarak aman dari si pria dengan tidak meninggalkan kasur empuk di bawah bokongnya. Hinata pura-pura tidak peduli, mengalihkan pengamatan dari sosok tinggi di seberang yang sedang bersandar ke jendela kaca berukuran lebar.

"Terima kasih. Sayangnya aku tidak terkesan, agak risi juga mendengarnya. Jadi, suamimu bagaimana? Kau bahagia sama dia?!"

"Ehm, y-ya." Entah gerangan apa, tangan Naero mengepal di situ dan Hinata pun melewatkan saat rahangnya mengetat ketika dia sendiri sibuk mengatasi kegelisahan. Lehernya bergerak aktif ke kiri dan kanan, memainkan jemari asalkan tidak bertemu muka dengan si pria.

"Sudah bahagia, masih saja mencari hiburan lain. Suamimu tidak membuatmu puas, ya?" Ini cibiran susulan, menampar akal meski Hinata mengabaikan efeknya siap mendorong air mata untuk tumpah. Dihina berulang-ulang, sekalipun dilakukan pria yang dicintai tentu tidak mengurangi sensasi perihnya.

"Kau tidak mengetahui apapun," lirih sahutan ini di rungu.

"Ai, ai, kau binal juga ya, ternyata." Seketika rona Hinata berubah masam, berkaca-kaca dan turun. Dia selesai menahan diri. Segalanya terlampau keras, kejam dan menjijikkan di telinga. Ditantang figur angkuh itu dengan sisa keberanian paling dasar, menyesali pikiran yang tiada bosan menyanjung visualnya. Wajah yang sombong hanya meningkatkan ke puncak kadar ketampanan dari genetik barat, dia seolah menarik afeksi mata supaya melekat hanya padanya seorang. Marah, namun Hinata gagal membenci kepongahan di atas awan. "Menangis?! Tersinggung?!" Diam, tak sanggup menyahut selain manik sayu berupaya berperang. "Lihat ini! Dia istriku, apa pendapatmu?" Selembar foto pernikahan seukuran dompet terjatuh di pangkuan Hinata. "Cermati wajahnya baik-baik." Bagai mengumumkan perintah sebelum kaki diayun ke meja yang ada di tengah ruang. Sebotol anggur serta dua gelas bertangkai ramping tersedia di sana. Naero menuangkannya untuk mereka berdua.

ANTOLOGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang