Tidak yakin berapa lama dia perlu menghabiskan waktu untuk menunggu di situ, hingga tanpa sengaja dapat menghitung banyak pasang mata melirik minat terhadap presensinya. Demyan a.k.a Nana tengah mengisap batang nikotin di antara belah bibirnya, meniup perlahan racun asap melalui hidung dan celah semula. Sesekali cangkir flat white diteguk lamban seiring pandangnya memperhatikan secara acak, sebuah permainan kecil guna menarik lebih tinggi tatapan haus di sekelilingnya.
Ayolah, siapa yang tidak terpesona dengan pria bergaya fancy? Kostumnya jenis sederhana. Hanya kemeja putih gading berlengan pendek, sedikit umpan pada dua kancing teratas dibiarkan terbuka. Kakinya dibalut celana bahan berwarna hitam dilengkapi pantofel senada tanpa kaus kaki. Dia cerdas dalam menyeimbangkan semua unsur di tubuhnya, seperti potongan fringe undercut pada rambut dengan tambahan sedikit wax agar membuat tatanannya lebih awet. Nana selalu berhasil mendorong atensi lawan jenis dengan begitu mudah.
Di antara kesunyian serta luapan animo di sekitar, nada dering sederhana memanggilnya dari permukaan meja, itu adalah notifikasi pesan dari salah satu aplikasi chat terkemuka.
"Sumire--tidak mau menyerah rupanya." Puntung rokok ditekan kuat ke asbak sebelum meraih benda persegi panjang di depannya dan membalas seadanya teks bergambar di sana. "Foto telanjang tidak mempan untukku. Astaga, dia sangat percaya diri dengan bentuk dadanya." Nana menggeleng malas ketika melihat potret si pengirim bugil di bagian atas.
Aku menghargai upaya. Tapi, Sumire--maaf, seseorang sudah membayarku. Kau harus mengantre, atau ada Shikamaru dan Haku yang bisa menemanimu. Mereka kosong.
Nana mengerang berat usai kalimat tadi dia kirimkan, penuh harap supaya gadis belia pengidap hiperseks itu bisa menerima solusinya. Namun, agaknya tidak. Balasan muncul serempak tarikan napasnya, dia melupakan satu fakta bahwa gadis delapan belas tahun tersebut terobsesi padanya atau mungkin tubuhnya. Sial! Ya, terkadang Nana tidak cukup puas dengan mengumpati situasi di tengah-tengah dia dan Sumire. Gadis kelebihan kaya pecandu seks serta mampu membuang uangnya lebih besar dari yang pernah dia minta. Dan, setiap kali dia berujung penolakan Nana maka kata-kata putus asanya selalu ampuh menggoda amarah. Penawaran sebagai pacar plus jaminan kebutuhan sehari-hari terpenuhi berikut kemewahan di dalamnya. Double sial! Wajar sekali jika kenyataan demikian menggoyangkan pertahanan. Tetapi, Nana tetap akan menanggapi tidak. Selaku 'Anbu' eksklusif di Red Eros, peringkatnya berada di atas. Fakta visual serta 'servis' menyebabkan profil miliknya di laman situs web rahasia kebanjiran penyewa.
Kau tahu jawabanku. Itu mustahil berubah, Sumire. Kenapa tidak coba berpacaran dengan pemuda seusiamu?
Kopi ditenggak masih amat tenang. Dilarang merusak citra dengan tindak semberono dari hal sepele, mereka bukan gigolo kelas rendah. Agensi mempersiapkan biografi terbaik dalam strata masyarakat. Nana mengambil pendidikan lanjut di Universitas swasta di Tokyo, begitupun Anbu lain yang tergabung dalam Red Eros. Tidak ada larangan bagi mereka untuk berkarier di beragam bidang, seluruh kunci diletakkan pada tempat bersertifikasi aman tingkat satu. Dengan kesimpulan, profesi mereka sebagai 'Anbu' sekadar diketahui agensi dan si penyewa.
"Tuan Nana." Sapaan halus nan ringan menaikkan dagu sang Anbu guna menyejajarkan pandang ke hadapannya. Wanita berkacama hitam dan tudung yang menutupi kepala ke hampir setengah wajahnya.
"Mrs. Hina?!"
"Uhm, ikuti aku! Tolong! Tidak bagus jika kita berbincang di sini." Lalu, Nana memutuskan menuruti langkah si wanita di belakang di mana dia dituntun menuju satu unit mobil SUV abu metalik, duduk di baris ke dua kursi penumpang di sebelah Mrs. Hina. "Maaf untuk kesan pertama yang sedikit tidak sopan."
"Kukira aku bisa memahami kedudukanmu--wakil wali kota."
"Terima kasih. Aku tersanjung, kau persis apa yang dikatakan Kakashi. Sangat pintar menyamankan lawan bicara."