Partner

494 79 90
                                    

Jam menunjukkan pukul 06.30 pagi. Bukan  pertama kalinya bagi Naru dan Hinata tiba di kantor di saat karyawan lain belum datang, sudah menjadi kebiasaan bagi keduanya. 

"Nat, ikut tidak?" Naru berujar selagi dia menaruh barang-barangnya di meja kerja kemudian menyampirkan  jaketnya di punggung kursi.

"Sebentar, laciku berantakan. Kemarin aku belum sempat membereskannya," tanggapnya sambil Hinata menyusun kertas-kertas di atas meja kerjanya dan membuang yang sudah tidak terpakai.

"Lembur juga?"  lima langkah Naru bergeser ke meja Hinata, di sebelahnya. Dia membungkuk, membantu memungut kertas-kertas di lantai, memasukkannya ke dalam keranjang sampah. "Maaf ya, aku tidak bisa membantumu kemarin. Ada urusan keluarga. Ibuku menelepon agar aku pulang lebih cepat."

"Kau ini bilang apa? Minta maaf segala. Lembur ya memang bagian dari pekerjaan kita, bukan cuma aku saja. Tidak mungkin ditolak 'kan?" Sejemang Hinata memperhatikannya untuk lalu mengulas senyuman manis.

"Aku tahu, tapi kau seorang gadis. Bekerja lembur tidak baik untukmu, apa lagi pulang larut malam. Kalau dibiarkan terus-terusan, kesehatanmu bisa menurun. Sudah seminggu ini 'kan belum selesai juga." Naru menarik kursi di belakangnya, dia duduk usai membuang kertas-kertas tadi ke keranjang sampah.

"Kau bisa menganggap kalau ini ..." Hinata memandang ke atas, seakan tengah memikirkan apa yang mesti dia ucapkan. Dia berkata, "Nasib baik sebagai seorang editor, anggap saja begitu." Seringainya kian mengembang terkesan dibuat-buat, ekspresi lain kala dia tak lagi punya kalinat bagus untuk menjawab.

"Ya sudah, kita ke kafetaria saja. Aku lapar." Naru menggamit tangan Hinata dan menariknya keluar ruangan.

---

---

---

"Mau makan apa? Kali ini aku yang traktir." tanya Naru seraya menoleh. Keduanya kini berada di kotak lift.

"Enaknya apa ya? Aku bingung, ingin yang manis-manis seperti dango atau dorayaki. Tapi bubur nasi juga tidak buruk sih,  kenyangnya lebih awet."  alhasil memilih menu seperti sesuatu yang benar-benar menyulitkan bagi Hinata. Dia terdiam, menyentuh dagunya dengan telunjuk sembari kelopak matanya mengerling-ngerling. Kontan Naru terkekeh akibat menyaksikan gelagatnya yang lucu. "Aku tidak bisa. Pilihkan apapun untukku, pasti kumakan."

"Makan semua yang kau mau. Cuma buat makan, tapi kau berpikir sekeras itu."

"Aku deep thinker loh!" Cebik Hinata.

Tahu-tahu denting lift berbunyi. Beberapa staf yang hendak menggunakan lift, bergantian memberi salam kepada mereka. Ada yang berbisik-bisik, melirik-lirik ke arah mereka, tiada yang tahu apa yang dibicarakan.

Naru dan Hinata bekerja di bidang desain grafis. Keduanya berada di tempat dan situasi yang pula sama. Naru merupakan seorang drafter, sedangkan Hinata di posisi editor. Semenjak dua tahun ini hubungan mereka bertambah akrab, bahkan staf-staf lain merasakan hal serupa. Di mana ada Naru maka di situlah Hinata, di dalam ruangan yang sama di setiap harinya. Dan mereka akan tetap ditemukan bersama-sama seperti saat tengah ke kantin guna makan siang atau sekadar minum kopi di pagi hari. Tak jarang pula Naru memberikan tumpangan, dengan sukarela dia mengantar Hinata sampai ke rumah.

"Kau yakin tidak mau memilih menunya?" tanya Naru begitu keduanya tiba di kafetaria, mengambil meja kosong yang bersisian dengan jendela. "Takutnya pesananku bukan seleramu."

ANTOLOGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang