BAB 22

10.4K 1.1K 6
                                    

Adrian

Aku menyetir dengan panik setelah mendapat kabar dari Farhan kalau Ayu pingsan dan berada di IGD. Satu jam yang lalu aku masih mendapat pesan dari Ayu yang mengabarkan kalau dia sudah di kantin Dharma Husada untuk makan siang. Memang tidak seperti biasanya Ayu makan siang di sana, tapi itu karena Ayu merasa kurang enak badan sejak kemarin. Nah, aku juga merasa bersalah kemarin tidak bisa menemani Ayu di rumah. Karena itu juga setelah mendapat kabar dari Farhan, aku langsung minta ijin untuk tidak praktek poliklinik sore. Ayu di Bandung hanya sendiri dan saat ini aku orang terdekatnya, rasanya tidak tega meninggalkan dia sendiri dengan kondisi seperti itu. Untungnya hari ini tidak ada jadwal operasi.

Yang mengejutkan, saat masuk ke bilik IGD tempat Ayu dirawat, di sana ada laki-laki yang aku rasa familiar. Setelah Ayu mengenalkannya, aku jadi ingat dan makin kaget kenapa dia bisa ada di sini. Tapi sudahlah, yang pernting saat ini Ayu baik-baik saja. Meskipun aku sedikit terganggu dengan pesan-pesannya untuk Ayu, seakan mereka memang sebegitu dekatnya. Dan aku bisa lega setelah Reno, lelaki tadi, keluar dari tempat ini. Aku langsung kembali duduk di sisi ranjang Ayu lalu menariknya ke pelukanku. Rasanya tadi aku begitu khawatir. Kukecup kepalanya beberapa kali dan mengusap rambut dan punggungnya pelan yang dibalas Ayu dengan pelukan yang sama di pinggangku.

"Kok bisa gini sih?" kataku lirih. Aku mengurai pelukan setelah beberapa saat tanpa melepaskan tanganku di pinggangnya. "Masih pusing ya?" Ayu mengangguk. "Makan dulu deh, aku ambilin. Apa mau sekalian aku suapin?"

"Jangan godain deh, aku makin pusing nanti." jawab Ayu sambil tertawa kecil.

Aku membiarkan Ayu untuk fokus makan sambil membalas beberapa pesan di ponselku. Karena tadi aku mendadak pergi, ternyata ada beberapa pasien yang bertanya padaku karena seharusnya sore ini adalah jadwal kontrol mereka. Aku harus bertanya lebih lanjut soal kondisi Ayu untuk memperkirakan sampai kapan aku harus menemaninya. Kemudian aku jadi terpikir sesuatu.

"Na, kamu mau dirawat di sini aja?"

"Mm, aku tunggu hasil Hb-ku dulu Mas. Kalo masih bagus, aku pulang aja."

"Na, aku khawatir. Gimana kalo kamu sementara ini pulang ke rumahku aja?"

Ayu membulatkan matanya kaget. Ya, mungkin agak aneh juga kalau dia menginap di rumahku. Tapi lebih mengkhawatirkan kalau dia di rumahnya sendiri. Di sana tidak ada siapa-siapa, bagaimana kalau terjadi sesuatu.

"Nggak perlu Mas, aku di rumah aja. Nggak enak aku." kata Ayu.

"No, aku nggak mungkin biarin kamu di rumah sendirian. Pilihannya kamu di rawat di sini atau kamu ke rumahku dulu sampai bener-bener fit. Lagian di rumahku kan ada Papa Mama, Na, nggak hanya kita berdua."

"Justru itu, aku nggak enak sama Om Angga dan Tante Amira takut ngerepotin."

"Aku yakin Mama Papa nggak mungkin gitu, kalo nggak percaya aku telepon Mama ya." Aku segera mendial nomor Mama.

"Mas.." Ayu menggelengkan kepalanya pelan, tapi kali ini aku tidak bisa menurutinya karena ini demi kebaikannya.

Dering ketiga Mama mengangkat teleponku. Lalu aku menjelaskan dengan singkat kondisi Ayu sekarang. Mama meminta untuk bicara dengan Ayu. Mau tidak mau Ayu menerimanya.

"Iya Tante... Ayu nggak apa-apa kok, biasanya full istirahat satu dua hari udah sehat lagi... Duh, nanti malah ngerepotin Tante... Iya Tante, nanti Ayu liat hasil tes darah dulu ya... Iya... Iya... Makasih Tante..."

Ayu menyerahkan kembali ponsel padaku. Mama berpesan untuk membujuk Ayu, beliau bahkan akan menyiapkan kamar untuk Ayu. Di saat seperti ini, aku selalu bersyukur mempunyai keluarga suportif seperti Mamaku. Selesai menelepon, aku membereskan bekas makan Ayu. Aku kembali duduk di sisi ranjangnya dan mengelus pelan kepalanya. Sepertinya Ayu masih merasa pusing karena kepalanya kembali bersandar di bantal dan beberapa kali memejamkan mata agak lama.

Prognosa: Ad BonamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang