BAB 2

17.9K 1.5K 31
                                    

"Butuh energi besar? Lakukan hal yang kamu suka."

Kata Adrian


Adrian

"Cakep ya, Mas?"

Kekehan Farhan terdengar saat mataku masih tertuju pada rambut lurus hitam sebahu yang baru beranjak dari sini.

"Yang bilang dia nggak cakep mesti dirujuk ke dokter mata." jawabku ketus.

S. Ayudya, dr. Begitu yang tadi aku baca di baju jaganya. Kalau tadi Farhan bilang bahwa dia adalah princessnya IGD, ya memang pantas. She absolutely looks like princess. Tingginya mungkin hampir 170 cm, langsing, kulit putih - ehm, mulus banget sih itu tadi-, mata bulat hitam, hidung cukup pas dengan proporsi wajahnya, bibir sedikit berisi, senyumnya manis, giginya rapih dan simetris. Ya maafkan, sebagai dokter gigi, hal yang ada di daftar pertama untuk dinilai dari seseorang ya giginya.

By the way, aku memang dokter gigi. Spesialis bedah mulut lebih tepatnya. Kalau ada yang bingung, dokter gigi juga ada spesialisasinya. Jadi setelah aku selesai dengan pendidikan dokter gigiku, tidak lama kemudian aku mengambil program pendidikan dokter gigi spesialis, alias sekolah lagi selama kurang lebih lima tahun, waktu itu aku membutuhkan waktu lebih sih. Karena di awal pendidikan, aku sedang menyelesaikan program magisterku. Oh iya, Aku mengambil program magister manajemen rumah sakit saat sedang menempuh pendidikan profesi dokter gigi. Kalau kalian masih bingung, aku jelaskan lagi. Aku menempuh program sarjana kedokteran gigi kurang dari 4 tahun, setelah itu aku menjalani program profesi dokter gigi alias koas yang akan ditempuh sekitar 2 tahun. Di tengah perjalanan koas, aku mengambil program magister. Setelah resmi menjadi dokter gigi dan juga bergelar MMRS, aku mencoba mendaftar program spesialis. Saat itu hanya iseng sebetulnya, ternyata tembus, padahal rasanya aku baru saja bernafas. Jangan tanya bagaimana aku membagi waktu, entahlah aku pun tidak ingat. Yang aku ingat, bisa tidur 6 jam sehari adalah sebuah keistimewaan.

Okay, back to Ayudya, ada yang membuatnya berbeda di mataku, yaitu sikapnya yang cenderung kalem. Maaf lagi nih, biasanya gadis-gadis yang bertemu denganku pasti menatapku dengan tatapan memuja. Bukan aku kegeeran, tapi kenyataannya memang begitu. Respon pertama rata-rata gadis yang berkenalan denganku adalah akan memberikan senyum termanis mereka dan membuat obrolan yang sepanjang mungkin denganku hingga berakhir dengan sok akrab atau mungkin malah jadi gugup tidak jelas saking terpesonanya melihatku. Tapi gadis tadi, tampak biasa saja, hanya melihatku dengan hormat, mungkin karena aku lebih senior juga menyapa dan menjawab pertanyaanku seperlunya saja. Sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan untuk lebih akrab sedikitpun.

"Temen kampus lo?" tanyaku pada Farhan.

"Temen internship gue, anak UI dia."

Aku mengangguk. Ngomong-ngomong, aku memang baru saja mengambil jadwal praktek di Dharma Husada, jadi belum banyak kenalan. Itupun hanya 2 hari dalam sepekan. Karna sisanya sudah aku habiskan di RS Prama Medika yang mana adalah milik keluarga besar ayahku. Kakekku adalah seorang dokter yang juga membangun jaringan bisnis di bidang Kesehatan lewat Pramana Corp. Saat ini selain memiliki rumah sakit, Pramana Corp juga merambah bisnis alat kesehatan. Ayahku sendiri bukan seorang dokter. Beliau ikut mengurus perusahaan Kakek di bidang keuangan, singkatnya sebagai direktur keuangan pusat. Sedangkan aku, selain menjadi praktisi, juga tergabung di jajaran direksi RS. Kalau tadi Farhan menyebutku "Bos", salah satunya karna dia juga praktek di Prama Medika.

"Kali aja penasaran, dia tiap hari kok di sini." Farhan kembali bersuara.

"Tiap hari banget?" Tanyaku heran. Biasanya dokter wanita lebih memilih untuk praktek di poliklinik atau jaga ruangan yang lebih santai dibanding IGD.

"Senin sampe jumat sih. Pagi di Puskesmas, sore di sini. PTT dia." waw, dia praktek seharian?

"Akrab lo sama dia?" Aku makin penasaran.

" Ya lumayan, akrab banget sih enggak, emang agak kalem gitu anaknya."

"Keliatan sih. Single?"

Farhan tergelak. "Kepo, Bos?"

Sialan! Farhan malah melanjutkan tawanya. Junior kurang ajar memang dia. Kalau bukan karena senasib seperjuangan saat dia koas dan aku residen dulu, mana mau aku berteman dengannya.

"Single sih, tapiiii... menurut lo, cewek cakep gitu cocok nggak kalo jomblo?." lanjutnya setelah tawanya reda dan menyisakan senyum tengilnya.

"Jawab aja susah banget." Kesalku.

"Jomblo, Mas, jomblo. Baru aja putus sih katanya, makanya nyampe ke sini. Semoga aja cewek high quality gitu nggak masuk golongan gamon."

Meskipun sering kesal dengan jiwa kepo-nya, di saat seperti ini ada untungnya juga berteman dengan Farhan.

"Sebelum janur kuning melengkung, maju lah, Mas!" lanjutnya.

Aku hanya menggelengkan kepalaku, malas menanggapi. Meskipun kata orang aku ini favorit wanita, tapi tidak mudah mendapatkan yang klik di hati. Bukannya aku belum pernah menjalin hubungan, beberapa kali aku punya pasangan, tapi memang belum ada yang membuat aku ingin membawa ke jenjang yang lebih serius karena rata-rata mereka tidak tahan dengan kesibukanku. Hei, pernikahan itu kan memang serius, tentunya tidak bisa asal comot perempuan meskipun cantiknya seperti princess.

Usiaku yang sudah lewat kepala tiga ini memang sering jadi bahan obrolan di keluarga. Tampan dan mapan menurut mereka adalah modal yang lebih dari cukup untuk mendapatkan pasangan dengan mudah. Sayangnya dengan kesibukanku ini, waktu untuk menemukan pasangan menjadi sedikit. Yah, mapan itu harus diperjuangkan, kawan! Meskipun aku terlahir dari keluarga berada, aku punya tanggung jawab terhadap diriku sebelum nantinya membangun keluarga sendiri. Mungkin jalanku memang lebih mudah dibanding orang lain yang harus berjuang dari nol, tapi setiap orang punya tantangan hidup masing-masing bukan. Aku praktek setiap hari, hari libur pun aku tetap stand by jika sedang jadwal on call dan sewaktu-waktu ada panggilan darurat, meskipun cukup jarang. Di lain waktu, aku harus terus mengupgrade pengetahuanku dengan seminar dan pelatihan. Terkadang aku juga diminta jadi pembicara di beberapa event kesehatan. Tentunya butuh pasangan yang sangat mendukung kesibukanku, bukan? Dan itu tidak mudah.

Mungkin menurut banyak orang sangat melelahkan, tapi percayalah, energi yang luar biasa akan muncul saat melakukan hal yang kita suka. Menjadi dokter, menolong orang, duduk di dental unit-ku, berdiri berjam-jam di depan meja operasi, membagikan ilmu sebagai pembicara seminar, dan kesibukan lainnya membuatku hidup. Seperti kata William W. Purkey; you've gotta dance like there's no body watching, love like you'll never be hurt, sing like there's no body listening, and live like it's heaven on earth. Dan aku sepakat, aku akan mengisi energi diri dengan caraku, selama tidak melanggar apapun.

Prognosa: Ad BonamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang