Chapter 7

901 52 2
                                    

Vani kemudian menggeser tombol hijau pada ponselnya,

"Halo, Assalamualaikum."

"..."

"Iya, ini baru aja keluar."

"..."

"Iya, ini juga mau lari. Ok, see you there. Waalaikumsalam."

Dalam sekejap Vani kemudian mengantongi kembali ponselnya, dan bergegas untuk berlari. Tidak lupa pula, ia melambaikan tangannya kepada Tasya, Nia, dan Shella sebagai kode untuk pergi lebih dulu dari mereka.

"Kenapa si Vani?" tanya Billy dengan heran, "biasa, mungkin sudah di jemput di luar," jawab Shella singkat, kemudian dipertegas dengan anggukan dari Tasya maupun Nia.

Di sisi yang lain, Kak Vian yang baru saja keluar dari kelas di kampusnya, telah ditelpon Sang Mama untuk menjemput adik kesayangannya tersebut. Beberapa saat kemudian Vian sudah sampai di parkiran kampus, dan hanya menghembuskan nafasnya dengan kasar, lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal setelah melihat mobil Honda CRV miliknya.

Semoga lo nggak marah, Van, batinnya. Ia kemudian menjalankan mobil berwarna putih tersebut menuju sekolah Vani.

Alasan Sang Mama menelponnya untuk menjemput Vani, adalah lantaran supir pribadi Vani sedang pulang kampung secara mendadak. Meskipun seorang supir, ia terbiasa untuk mengantar jemput Vani menggunakan kendaraan roda dua—motor.

Setiap kali ia bertanya alasan Vani mengenai hal itu ia menjawab dengan seadanya —seperti tidak enak dilihat orang lain, atau bahkan, ia berpikir terkesan pamer. Tapi, menurutnya itu bukanlah alasan utama bagi Vani. Ia bahkan sudah sering melihat teman-teman Vani yang lainnya membawa mobil sendiri—seperti Tasya misalnya.

Ada luka lama dalam diri adik kesayangannya itu, yang tidak bisa ia obati. Dan setiap mengingat hal itu, ia merasa gagal menjadi seorang kakak.

Selesai menelpon Vani, ia kemudian memutuskan untuk membeli minuman di toko terdekat. Ada beberapa siswi yang sedang nongkrong di sana. Dan sudah sangat biasa ia menjadi pusat perhatian di sekitarnya, begitu pula saat ini. Ia tidak heran lagi saat gadis-gadis itu melihatnya dengan berbagai macam tatapan.

Bahkan terakhir kali ia menjemput Vani, beberapa siswi hampir terjatuh tersandung, karena terus memperhatikan ciptaan tuhan yang hampir sempurna itu.

"Berapa?" tanya Vian kepada kasir yang sudah ada di hadapannya.

"10 ribu, Mas."

"Nggak salah? Saya cuma beli air mineral loh?" tanya Vian dengan heran, dengan harga yang tidak wajar menurutnya, hanya untuk sebotol air mineral dengan ukuran sedang tersebut.

"Oh, saya pikir digabungin sama mbak yang di belakangnya?"

Vian kemudian membalikkan badannya, dan melihat adik semata wayangnya tengah mengangkat sebuah minuman kaleng di tangan kanannya. Ia kemudian mengeluarkan uang untuk membayar belanjaan mereka berdua.

"Kalau datang itu bilang-bilang," ujar Vian membuka botol air mineralnya, "baru juga datang, Kak," balas Vani disertai cengirannya.

Hanya untuk sementara Vani bisa menunjukkan senyuman serta cengirannya, saat Vani tahu bahwa Kak Vian membawa mobil untuk menjemputnya, ia langsung menarik lengan Kak Vian yang lebih besar darinya itu menuju mobil putih yang terparkir tidak jauh dari mereka saat ini.

Little Tear'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang