Chapter 8

889 53 3
                                    

Vani sudah meminta izin untuk menginap di rumah Tasya malam ini, menurut Tasya mereka sudah lama tidak melakukan 'pajama party' di rumahnya. Tentu saja Vani lagsung meng-iyakan ajakan dari Tasya tersebut. Namun, sayangnya Nia dan Shella tidak bisa ikut 'kegiatan' mereka malam ini.

Kak Vian yang mengantar Vani ke rumah Tasya, alasannya sih kebetulan Kak Vian juga akan keluar sebentar. Namun siapa yang menyangka bahwa itu hanya alibinya belaka, karena mengkhawatirkan adik semata wayangnya tersebut.

ia tidak memperbolehkan Vani untuk membawa kendaraannya sendiri. Menurutnya, selama ia masih bisa mengantarkan adik perempuannya itu, maka akan ia lakukan.

"Sudah semuanya?" tanya Vian dari dalam mobil.

"Iya. Sudah, Kak!" ujar Vani dengan semangat. Melihat hal itu Vian sedikit lega.

"Kabari kakak kalau ada apa-apa, ya?"

"Ok, boss!" jawab Vani bersemangat, ia bahkan meletakan tangan kanannya di keningnya, berlagak seperti seorang anggota militer yang tengah menghormati atasannya.

"Have fun, and becarefull okay?"

"Okidoki, love you. See you."

"Love you too, and see you tomorrow."

Mobil Kak Vian sudah melaju meninggalkan Vani yang tengah melambaikan tangannya. Ia merasa sedari tadi ada yang memperhatikannya. Namun, ia segera menepis pikirannya yang tidak-tidak. Kemudian melangkahkan kakinya menuju perkarangan rumah Tasya.

Belum sampai ia menginjakkan kakinya ke teras rumah, tiba-tiba lampunya padam. Bukan hanya rumah Tasya, tetapi seluruh area kompleks itu. Sejenak Vani memandangi langit yang dipenuhi oleh bintang, tapi itu belum cukup untuk menerangi atau bahkan membuatnya lebih berani melangkahkan kakinya lebih jauh lagi.

"Pemadaman listrik bergilir 'kah?" gumamnya pelan.

Ia menyesal karena tidak memegang ponselnya saat ini, ia memasukkan ponselnya di dalam ranselnya—lebih tepatnya bagian paling dalam. Ia yakin untuk mencari ponselnya saat ini, juga akan sia-sia dengan keadaan panik saat ini. Akhirnya ia mencoba untuk merileks-kan seluruh tubuh dan pikirannya.

Be positive, Vani! Teriaknya dalam hati.

Saat ini ia sudah seperti seorang tuna netra, yang sedari tadi ia lakukan hanya berjalan perlahan dengan meraba-raba di depannya.

"Aw!" jeritnya saat menabrak sesuatu. Saat ia merabanya ternyata hanya kayu berbentuk lingkaran—meja teras. Kemudian ia mengusap-usap lututnya yang masih nyeri. Dengan perasaan bahagia tersendiri akhirnya ia berhasil menemukan pintu rumah yang tidak jauh dari meja teras yang telah ia tabrak tadi.

"Assalamualaikum, Tasya!" teriaknya dengan lantang.

"Waalaikumsalam," jawab seseorang.

Sejenak Vani mulai berpikir. Suara itu bukan berasal dari dalam, tetapi berasal tidak jauh darinya saat ini. Bahkan itu bukan suara seorang wanita, melainkan suara khas baritone seorang pria. Seketika bulu kuduknya serentak mulai berdiri.

"Tasya tolongin gue ada setan!" kini Vani tidak bisa lagi menyembunyikan ketakutannya, ia tidak bisa menyugesti seluruh tubuhnya untuk positive lagi.

"Lo, bisa diam nggak sih?" tanyanya dengan nada kesal.

"M-maaf gue nggak ganggu kok serius deh!" ujar Vani dengan terbata-bata, "Tasya setannya ngajakin gue ngomong!" teriaknya kemudian.

"Lo, gila ya? mana ada setan pake bahasa gaul?" ujar pria itu dengan sangat kesal, karena telah dikira sebagai setan.

Sejenak Vani terdiam, kemudian melangkahkan kakinya sedikit demi sedikit ke arah sumber suara tersebut.

"Serius lo bukan setan?"

"Bukan!"

"Nggak percaya, coba gue raba muka lo, siapa tau kayak di film-film—muka rata."

Entah apa yang membuat Vani begitu nekad untuk menyentuh wajah pria yang bahkan ia tidak kenali. Kemudian Vani mulai menyentuh wajah pria itu. mulai dari kening, mata, batang hidung, pipi, bibir dan juga dagunya.

"Oiyah lengkap, hehe." Cengirnya lalu menyingkirkan telapak tangannya dari wajah pria tersebut, "kok suara lo familiar  ya buat gue?" tanyanya lagi.

"Emangnya lo tahu siapa gue?" tanya pria itu balik.

Sebelum Vani berpikir lebih jauh, ternyata listriknya sudah dinyalakan oleh pihak yang bersangkutan, seketika manik mata Vani melebar dengan sempurna melihat pria yang ada di hadapannya—tepat di depannya dengan jarak yang cukup dekat saat ini.

"Lo?!" teriak Vani membuat pria dihadapannya kembali duduk di kursi teras, "lo ngapain di sini?" tanya Vani lagi karena pria itu—sama sekali—tidak mengindahkannya. Sebelum Vani mendapatkan jawaban yang ingin ia dengar, ternyata pintunya telah dibuka oleh seseorang.

"Eh, kalian barengan datangnya?" tanya Tasya yang di belakangnya sudah ada Billy. Vani-pun memasang ekspresi seolah-olah mengatakan—ceritakan padaku apa yang telah terjadi.

"I-itu, gue bikin acara barbeque, jadi gue kepikiran ajak Billy sama yang lainnya," jelas Tasya gugup menjelaskannya kepada Vani, ia sudah bisa menebak ekspresi Vani saat ini, "bukannya lo bilang kita bakal pajama party?" tanya Vani dengan heran.

"Kita 'kan pajama-nya sekitar jam 11 keatas, Van. Jadi, gue pikir dari pada cuma berdua, jadi ... jadi-"

"Gue mau ke kamar lo aja," potong Vani tidak ingin mendengar penjelasan Tasya lebih jauh lagi. Vani kemudian meninggalkan Tasya, Billy dan Kevin dengan penuh tanda tanya di kepala mereka.

"Jadi, mana teman-teman gila gue yang lain?" tanya Kevin dengan nada yang dingin, Billy yang mendengarnyapun menatapnya dengan kesal, "di belakang, mending juga diajak lo," balas Billy. "Gue nggak minta diajak, gue ke sini ditipu sama Ryan dan juga lo," ujar Kevin dengan penuh penekanan di setiap perkataannya.

Seharusnya saat ini Kevin tengah berlatih basket di lapangan, meskipun pelatih mereka mengatakan, mereka saat ini dapat libur. Namun, tetap saja Kevin lebih memilih berlatih daripada berlibur. Dan mengapa ia berada di rumah Tasya? Ryan tadi menelponnya, ia bilang anak basket sedang mengadakan acara. Lalu, Ryan mengirim alamat rumah tasya—dalam artian ia telah dibohongi oleh Ryan.

Sesampainya di halaman belakang, Kevinpun menjitak kepala Ryan untuk membalas kekesalannya.

"Aduh! Lo gila ya? datang-datang langsung main jitak orang?" protes Ryan.

"Itu pembalasan, karena sudah bohongin gue."

"Gue bohong apaan?" tanya Ryan tak mau kalah.

"Lo bilang anak basket lagi bikin acara-"

"Nah! Gue bilang 'anak basket lagi bikin acara' gue sama Billy 'kan anak basket, tambah lo juga anak basket. Terus, kita lagi ngadain acara barbeque. Apanya yang bohong?" tanya Ryan, otaknya itu terkadang bisa menyamai otak genious milik Kevin. Tak salah, jika Ryan itu terpintar kedua diantara mereka berempat setelah Kevin.

"Ya, ya, ya. terserah lo deh," ujar Kevin mengalah.

____*F*____

Hello! Author bakal ngeditnya step by step yaa, jadi sabar aja bacanya wkk, tapi diusahakan bakal selesai cepet kok, soalnya author juga mau ngedit cerita yang lain, dan lanjutin cerita "The Fault" ... Kayaknya nggak sesuai keinginan author ya. Tapi tenang aja author bakal selesaikan kok semaunya author janji sama kalian

Dan ga bosan-bosannya author ingatin kalian buat komen, soalnya author masih butuh komentar dan kritikan bersifat membangun dari kalian. ;)

See you~

AIN-2

Little Tear'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang