18 | Platinum Love

44 26 0
                                    

|||

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

|||

"Lusa. Lusa kita akan bertemu di sebuah restoran tempat biasa dulu ngumpul sama yang lain. Bagaimana?" Zaky menunggu dengan sabar jawaban Padme.

"Bersama yang lain juga, 'kan?"

Untuk sejenak, Zaky menarik napasnya dalam. Dia lupa, Padme takkan setuju bila pertemuan itu dirancang hanya untuk mereka berdua. Seharusnya Zaky ingat, Padme bukanlah seperti perempuan lain yang pernah dia temui selama hidup ini.

"Iya, bersama anak-anak yang lain juga," balas Zaky diiringi anggukan, dua sudut bibirnya terangkat hangat.

"Baiklah. Aku akan bergabung bersama kalian, inshaa Allah." Padme memegang puncak kepala Jabar, memberinya kode untuk bersiap pergi dari sana.

Namun, sebelum Padme mengucap salam, Zaky kembali menginterupsi. "Berjanjilah kamu akan menjelaskannya, Padme. Dengan. Sangat. Jelas." Walau dia berbicara dalam nada yang lembut, tetapi penekanan kata itu terasa jelas.

Mengangguk ringan, Padme membalas, "Inshaa Allah. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam." Zaky memperhatikan anak yang memanggil namanya sendiri sebagai Jabar, anak itu beberapa kali menoleh untuk melihat padanya.

Sekarang, pikiran Zaky melayang-layang entah ke mana. Panggilan yang diberikan anak itu terus terngiang-ngiang. "Bunda," lirih Zaky  menatap pundak Padme yang tertutup oleh kain lebar.

"Siapa dia, Bunda?" tanya Jabar penasaran.

"Teman Bunda waktu sekolah dulu."

Jabar mengangguk paham. "Dia mengundang Bunda ke mana?"

Mengantre di belakang salah satu dari sekian banyak pengunjung supermarket, Padme tersenyum ke arah anaknya tersebut. Sembari menggenggam tangan kecil Ali, dia menjawab, "Bunda pikir itu semacam reuni. Pertemuan Bunda dengan teman-teman kelas yang lain. Kita akan tiba bersama di sana."

"Jabar boleh ikut?"

"Tentu, Habibi." Padme mendorong troli ke depan, mengeluarkan barang belanjaan mereka ke atas meja kasir sembari melanjutkan ucapannya, "bagaimana bisa Bunda meninggalkanmu? Bunda akan membawa kalian berdua, sekalian kita jalan-jalan. How? Do you like it?"

Mengangguk dengan antusias, Jabar tersenyum lebar. "Yes! Why not?"

Terkekeh, Padme menunggu sampai belanjaannya selesai ditotalkan. Mengeluarkan kartu dari dompetnya, Padme mengambil dua plastik berukuran sedang tersebut.

"Biarkan Jabar membawa satu, Bunda," pinta Jabar ingin membantu.

"Terima kasih, Habibi." Padme memberikan satu kantong plastik tersebut kepada Jabar, mereka berjalan bersama menuju motornya terparkir.

Ali di gendongan Padme begitu tenang, dia tampaknya menikmati perjalanan singkat mereka. Tidak rewel, tidak pula terlihat risih. Padme mengeluarkan Ali dari gendongannya, mengganti posisi seperti sebelumnya saat keluar dari rumah.

Kiriman Berharga Dari Negeri Piramid | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang