28 | Khitbah?

32 20 0
                                    

|||

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

|||

"Paman?" Ishaq mengangkat satu alisnya, menyorot penuh tanya pada pria yang Jabar panggil paman tersebut.

Sebelum percakapan itu berlanjut panjang, Padme lebih dahulu meminta mereka agar masuk ke dalam rumah. Tak enak bila mereka berkumpul ramai-ramai seperti ini di depan rumah, tentu dalam waktu singkat akan memancing perhatian para tetangga.

"Kita masuk dulu, bicara di dalam." Padme memberi kode pada Ishaq agar membawa tamunya segera masuk.

"Iya, silakan masuk!"

"Ayo, Kak Shen. Aku sekalian mau tanya-tanya," ajak Padme pada Shena.

Masuk ke dalam, Padme membaringkan Ali di kereta dorong, setelah meminta Shena menjaga bayi itu sebentar, Padme menyiapkan minuman untuk mereka semua. Di ruang tamu, Ishaq meminta Jabar dan Aris untuk duduk sebentar, mendengarkan apa yang sebenarnya tamu ini inginkan.

"Kita ke depan aja dulu, Pad. Itu tamu kamu, 'kan? Kayaknya ada hal penting yang mau dia bilang," Shena memberi saran.

Padme mengangguk, dia juga penasaran. Membawa sajian untuk tamunya ke ruang tamu, mereka mengambil tempat masing-masing di sofa.

"Jadi ... Ada yang bisa kami bantu?" ucap Ishaq membuka pembicaraan, sekilas, tadi dia sudah mendengar percakapan antara pria ini bersama Jabar. Terlihat bahwa mereka sudah saling mengenal.

Mengulang perkenalan seperti sebelumnya, kali ini Awan menjelaskan lebih detail. Tentang awal dia bertemu Mr. Masud, berteman akrab dengan Jabar, juga terpukau dengan penjelasan Tuan Lukman terkait dua anak Mesir yang kini telah dalam pelukan Padme Shatiera.

Mereka di sana mendengarkan dengan baik, tidak pula ada yang memotong pembicaraan apalagi meminta agar perkenalan itu dipersingkat. Hingga pada puncak pembicaraan, Awan menarik napas dalam, kemudian menatap Ishaq serius selaku satu-satunya saudara gadis itu.

"Saya sudah menyampaikan niat ini kepada Tuan Lukman, meminta pendapat. Hari ini, kepada Anda, saya ingin menyampaikan niat hati saya untuk meng-khitbah kakak kamu, Padme Shatiera." Awan tak berkedip sampai ucapannya selesai tersampaikan.

Mendengar itu, mereka terkejut. Padme melebarkan mata, bertukar tatap dengan sang adik, lalu membagi keterkejutannya pada Shena yang tak dapat menahan senyum mendengar pinangan tersebut.

Ishaq menegakkan punggungnya, dahi pemuda itu sedikit berkerut. "Khitbah? Ekhem. Maaf. Maksud kamu adalah meminang saudariku?"

Awan mengangguk yakin. "Saya sudah memikirkan ini dengan baik. Tidak sedikit saya berdoa kepada Allah agar diberi kemudahan dan jalan demi menuju keputusan akhir atas niat ini. Hari ke hari setelah pertemuan saya dengan Tuan Lukman, saya justru telah berada di sini. Inshaa Allah, secara materi saya siap, mengingat Jabar dan Ali, pasti membutuhkan dana lebih."

"Ini terlalu tiba-tiba," gumam Padme tanpa sadar yang masih dapat didengar oleh mereka di sana.

"Saya tahu, tapi ini lebih baik daripada saya menunggu lebih lama lagi. Daripada saya mencipta kedekatan di antara kita dengan alasan 'perkenalan' terlebih dahulu agar tidak terkesan terburu-buru, saya takut itu akan menjadi ladang dosa untuk kita sendiri," sambut Awan membuat Padme langsung menatap Jabar.

Kiriman Berharga Dari Negeri Piramid | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang