Gamble 2

2 2 0
                                    

Joshua engga bisa berhenti memikirkan percakapan dia sama Yasmine kemarin. Kalau dipikir-pikir, peluang Yura suka sama dia itu cukup besar. Semua juga tau, mana ada persahabatan yang abadi antara cewek sama cowok? Semua itu, pada akhirnya, bakal berubah menjadi suatu hal lain, yang kebanyakan melibatkan perasaan di dalamnya.

Merujuk pada hal itu, Joshua cukup percaya diri kalau rencananya bakalan berhasil. Yura engga boleh suka sama Nathan. Apa pun yang terjadi, dia engga boleh sama Nathan.

"Jo, mikirin apa sih?" Suara lembut Syala terdengar, diikuti sentuhan lembut ditangan Joshua.

Joshua tersentak, menoleh pada Syala yang tersenyum lembut. "Gaa, gaada apa-apa kok," katanya.

"Ini masih sakit?" Tangan cewek itu terulur, mencoba menyentuh ujung bibir Joshua yang lukanya sudah berubah warna menjadi gelap. Tapi, Joshua mengelak. Entah atas dasar apa, cowok itu menjauhkan wajahnya sehingga Syala tidak bisa menyentuhnya.

Syala kelihatan kaget, tapi seperkian detik kemudian, air mukanya kembali tenang.
Entah kenapa, rasanya cuma Yura yang berhak menyentuh lukanya.

Indra penglihatan Joshua kemudian menangkap sosok Yura yang tengah berjalan dikoridor sendirian.
Syala ikutan melirik pada arah mata Joshua tertuju, dan seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya. Joshua engga pernah menatap Syala seperti itu ke siapa pun, kecuali Yura.

"Sya, gue.... gue deluan ya." Joshua bangkit, engga bilang apa-apa lagi dan langsung pergi. Langsung menghampiri Yura. Bukan apa-apa---disisi lapangan, ada Nathan yang lagi sibuk memandangi Yura, matanya kelihatan sayu saat melihat Joshua datang dan langsung merangkul Yura. Joshua tau, bahwa Nathan berniat menghampiri Yura barusan, tapi dengan cepat dia berlari kearah Yura dan menggagalkan rencana Nathan.

"Heh cebol, mau kemana?" Joshua dengan semena-mena mendaratkan tangannya ke bahu Yura.

"Duhh, Jo berat!" Yura menepis tangan Joshua.

"Duhh alay." Joshua menjitak kepala Yura. "Mau kemana?"

"Mau ke WC."

"Gue ikutan dong."

"Lo beneran udah bosen idup ya?"

"Hehe gabut Ra, ikutan ya."

"Sekali lagi lo bilang kayak gini, gue ancurin rusuk lo."

"Yaa gimana yaa," kata Joshua sambil terkekeh dengan cara yang menyebalkan.

"Dihh sana lo. Lo kenapa sih jadi freak gini."

"Kan gue kangen."

"Ngomong lo sama pantat gorila sana," kata Yura sambil memutar bola mata.

"Udah ah gue kebelet ini." Yura berusaha melarikan diri.

"Jangan lama-lama. Gue tunggu disini, abis itu temenin gue ke perpus."

Yura menaikan sebelah alisnya heran.

"Mau ngapain ke perpus?"

"Kepo, udah temenin aja."

"Hm." Sahut Yura, sebelum menghilang dibalik pintu kamar mandi perempuan. Joshua bersandar pada tembok, kemudian melirik ke arah dimana Nathan berada.

Nathan, sementara itu, balik menatap Joshua. Dan saat ini, Joshua benar-benar menatap Nathan seperti ingin mengajak berkelahi lagi. Joshua benar-benar sudah mengubah semuanya menjadi lahan perang.

.
.
.
.
.

"Jadi, ini mau kemana?" tanya Nathan setelah menghabiskan beberapa waktu dalam keheningan bersama Yura di mobilnya. Malam harinya, Yura mendadak meminta Nathan menemaninya pergi.

"Emmm ...."

Nathan menoleh sesaat sebelum kembali fokus kejalanan. "Kenapa?" tanyanya.

Yura memperhatikan gimana Nathan berusaha membagi perhatiannya dari jalan ke Yura.

"Heh, malah ngelamun." Cowok itu terkekeh.

Yura mendadak tersadar, terus menyelipkan sedikit rambutnya kebelakang telinga dengan gugup.

"Gue tuh ...." Yura engga tau harus mulai dari mana. "Jadi tuh, besok Joshua ulang tahun," katanya.

"Oh, mau nyari kado, ya?" tanya Nathan. Entah kenapa, Nathan merasa engga suka aja.

"Iya ...."

"Terus, mau beliin dia apa emang?"

"Gue mau beliin dia ini." Yura menunjukan foto sebuah sneakers Air Jordan keluaran terbaru, yang diam-diam menggerogoti rasa percaya diri Nathan. Yura bahkan mau membelikan Joshua sepatu yang harganya selangit.

Tapi kemudian, cowok itu teringat lagi. Joshua dan Yura sudah bersahabat untuk waktu yang cukup lama, dan Joshua tentu saja merupakan seseorang yang penting buat Yura. Tentu saja cewek itu sayang Joshua, tapi Nathan punya prinsip kalau sayang itu belum tentu cinta, bisa aja kan kalau Yura sayang Joshua sebagai saudara doang?

"Oh, ya, udah. Gue tau kok, dimana belinya," kata Nathan, sebelum menancap gas dan membiarkan mobilnya membelah jalanan.

Engga lama kemudian, mereka tiba disebuah outlet yang menjual sepatu yang diinginkan Yura. Jangan tanya Yura tau dari mana. Karena, Joshua pernah tiba-tiba menyodorkan ponselnya pada Yura dan dia kasih liat bentuk sepatu itu ke Yura. Yura peka, cuma saat itu dia engga niat meresponsnya.

Flashback on

Joshua menyodorkan ponselnya tepat didepan muka Yura, mungkin sisa 5 cm lagi bakal nemplok dimukanya.

"Apaan sih Jo? Gue disuruh nyium layar Hp lo?" tanya Yura sedikit kesal, karena pencahayaan ponsel Joshua lumayan tinggi. Ngebuat dia pusing sendiri.

"Liat deh, sepatu nya keren kan." tanya Joshua, yang ga terdengar kayak pertanyaan sama sekali.

"Hm." gumam Yura setelah melirik foto sepatu yang dibicarakan Joshua dari tadi.

Setelah itu tidak ada percakapan lagi, dan mereka kembali ke kesibukannya masing-masing.

Flashback off

Yura langsung menunjukan foto sepatu itu ke mbak-mbaknya beserta nomor kaki Joshua. Suatu hal yang lagi-lagi bikin Nathan putus asa.

"Lo hafal ukuran kaki Joshua?"

"Iya."

"Ukuran bajunya, hafal engga?"

"Ya, hafal lah."

"Apa?"

"Kalau ngepas M kalau oversize XL."

"Tinggi?"

"177."

"Makanan favorit?"

"Really?" Yura memutar bola matanya malas. "Apa aja yang penting gratis."

"Widih." Nathan berdecak kesal. Dia seharusnya merasa biasa aja, tapi entah kenapa, dia malah merasa ada sesuatu yang janggal. Merasa bahwa Yura seharusnya hanya mengingat hal-hal tentangnya.

Nathan cepat-cepat mengenyahkan pikiran super aneh itu, lalu menemani Yura kekasir untuk membayar.

"Joshua tuh penting banget ya buat lo Ra?" Sebuah pertanyaan mendadak muncul dari bibir Nathan.

Yura tertawa. "Apaan sih," katanya, sama sekali engga menganggap kalau pertanyaan Nathan itu serius.

Tapi Yura akhirnya menjawab. "Yaaa, gimana ya. Dia orang yang ngelewatin segalanya bareng gue selama 18 tahun ini. Jadi ...." Ucapan Yura dibiarkan menggantung sesaat. "Ya gitu deh."

"Ohhh gitu." Nathan tersenyum tipis setelah mendengar semua itu dari Yura sendiri.

Meskipun Nathan tau Joshua sepenting itu buat Yura---dan semakin kelihatan penting setelah melihat perjuangan Yura buat ngasih kado spesial ini ke Joshua---Nathan tetap engga akan pernah ngalah.

Prinsip Nathan cuma satu; pada akhirnya, yang dekat duluan bakal kalah sama yang nembak duluan.

DisanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang