M

148 18 1
                                    


Hening.

Bukan karena terlelap dalam mimpi, namun terlelap dalam pikiran. Pokok pikiran yg terlihat cukup berat untuk dipikirkan oleh seorang— dua orang anak yg usianya bahkan tak sampai setengah dari sang pelontar pertanyaan.

Terbesit jelas raut wajah bersalah darinya. Seolah menyesali kata-kata yg keluar dari mulutnya beberapa menit lalu. Baru kali ini Serka merasa tidak enak hati pada adik dari temannya ini.

Sang pengamat hanya bisa membisu. Antara tak tau apa yg harus dikatakannya dan tak tau situasi apa yg sedang terjadi. Tentu saja, tau apa ia. Anak yg terlihat terpenuhi segala sesuatunya. Jiji.

Netra indah sang periang hanya terpaku pada kedua telapak tangannya. Sejak tadi mencerna perkataan yg terucap dari yg lebih tua. Memikirkan apakah ia harus mengatakan sesuatu. Gimana ya jawabnya? atau Kenapa tanya kaya gitu?  Sesen bingung.

Raut wajah sedih samar-samar terlihat dari wajah gembulnya. Ia sedikit merutuki yg lebih tua karena bertanya hal seperti itu. Juju lebih memilih untuk menatap ke arah luar dan diam. Apasih bang Serka! Ngapain nanya kaya gitu!  Walaupun sedih, rasa sebal sedikit terlukis di hatinya.

•••••

Bukankah pertanyaan itu sedikit tak layak ditanyakan pada anak yg mencoba untuk tegar di usianya yg terbilang cukup muda?

Meskipun tak tau masalah apa yg pernah mereka lalui, sebaiknya tak perlu ditanyakan.

Rasa penasaran yg tinggi tak selalu berubah menjadi rasa empati dan simpati. Terkadang, rasa penasaran itu hanya untuk memuaskan hasrat pribadi.

•••••

"Hehehe, maaf ya. Abang seharusnya ga nanya kaya gitu." terdengar nada suara kikuk Serka yg menembus heningnya kondisi di dalam mobil.

Tak ada sautan.

"Udah Abang nyetil aja, ssut." Jiji membuka suara. Serka hanya bisa tersenyum ketir.

"Kalo bisa diulang, gue gaakan nanyain hal itu. Tolol bgt Serka." batin sang penyetir dengan rasa bersalah memenuhi dadanya.

•••••
















tbc.

TACENDA  ||  EN-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang