1

195K 5.9K 74
                                    

           

Bab 1

Banyak yang  bilang cinta pertama itu tak akan pernah hilang walaupun waktu terus bergulir. Cinta pertama punya hak istimewa di hati dan sulit sirna bahkan bisa selamanya menjadi sesuatu yang abadi di kehidupan setiap para pecinta. Berjuang keras mendapatkan timbal balik dari rasa alami itu, rela mengikis rasa ego atau lelah. Semua bertumpu pada rasa cinta pertama.

Inilah alasan yang dimiliki Abraham Sarha, sangat mencintai seorang wanita bernama Marrisa Claudya Ramana. Model cantik papan atas Indonesia. Sama-sama terlahir dari keluarga berkecukupan dan dikenal banyak orang. Jika siapa pun melihat, pasti banyak yang menilai mereka pasangan serasi, pantas naik ke jenjang yang lebih serius.

Abraham atau yang biasa dipanggil Ibra, mempunyai perasaan spesial pada Marrisa cukup lama. Walaupun Marrisa berkali-kali menolak, tapi itu tidak membuat Ibra patah semangat dan kecil hati.

Ibra adalah putra keluarga Sarha, dan dalam keluarga Sarha tidak ada kata menyerah. Itulah yang selalu ditanamkan sang kakek pada keturunan pria di keluarga Sarha.

Ibra sekarang berusia 28 tahun dan merupakan anak tunggal dari seorang Fatah Sarha dan sang ibu, Nadira Sarha. Ibra memang terlihat serba kecukupan. Didikan sang kakek telah menjadikannya pribadi yang kuat dalam menghadapi lingkungan sosial, tapi tidak dengan kehidupan percintaan.

Bagi Ibra, Marrisa adalah cinta pertama yang tak akan pernah tergantikan. Ibra selalu menolak mencoba permainan rasa dengan wanita lain. Entah bodoh atau karena cinta mati, Ibra tidak pernah mau mencintai wanita lain selain Marrisa, teman sesama sekolah menengah atas dulu sampai sekarang, saat usia Ibra mendekati kepala tiga. Sang ibu sangat mengetahui hal itu, beliau tahu betapa Ibra mencintai Marrisa, tapi dia tetap tidak bisa berbuat apa-apa karena Ibra tidak mau dibantu. Ibra ingin berjuang sendiri untuk mendapatkan cinta Marrisa.

"Ibra, bagaimana kabarnya Marrisa? Dia masih menolak kamu?" Pertanyaan yang selalu sang ibu tanyakan setiap harinya.

"Hmmm ... Mama tenang saja, sebentar lagi dia pasti jadi menantu Mama. Aku janji." Ibra sedang mengoleskan roti untuk sarapan sebelum berangkat kerja.

"Tapi Mama kan, mau secepatnya, Ibra. Mama ingin segera memiliki cucu, belum lagi kamu nanti tinggal di Jakarta untuk waktu yang lama. Mama sendiri juga mau menyusul Papa di Singapura, nggak ada yang tinggal di Lombok. Sepi kalau istri kamu ditinggal sendiri." Kelahiran Ibra memang berasal dari Lombok. Selain itu, bisnis keluarga Sarha berpusat di sana. Keluarga Sarha mengelola suatu hotel yang cukup terkenal, bisa dikatakan berhasil, terbukti banyak pihak lain yang mengajak kerja sama. Ibra selaku penerus memang sudah dikenalkan sejak dini. Apalagi sudah dua tahun terakhir semua pekerjaan diserahkan kepada Ibra. Orangtuanya hanya memantau.

"Kalaupun aku menikah secepatnya, Marrisa masih ada kontrak model di Paris dan Italia, Ma. Tenang saja dia tidak akan kesepian, sepertinya kami akan sibuk dengan pekerjaan masing-masing."

"Itu dia yang membuat Mama resah, pasti kalian menunda kehamilan. Kapan Mama punya cucunya jika kalian seperti itu?" Nadira terlihat termenung.

"Pokoknya Mama tenang saja, aku yakin Marrisa mau menikah dan punya anak denganku," jawab Ibra sangat yakin.

"Mama bukannya cerewet, Sayang, Mama punya banyak stok calon menantu jika kamu mau." Nadira menatap anaknya penuh harap. Ibra menggeleng, seolah tahu jawabannya, Nadira hanya mendengus pasrah.

"Iya, Mama tahu cinta kamu hanya untuk Marrisa, walaupun Marrisa biasa saja sama kamu," jelas Nadira kesal.

"Mamaaa...!" Ibra menatap sebal.

"Iya ... maafkan Mama."

***

Ibra sudah bertekad akan melamar Marrisa, untuk kali ini dia berharap akan berhasil walau caranya dengan rayuan materi.

Istri CadanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang