Bab 8
"Ternyata nggak mimpi," ucap Rahma pelan sambil menatap seorang pria yang masih terlelap di sampingnya.
Biasanya setiap pagi Rahma terbangun seorang diri, tapi tidak dengan hari ini. Hari ini dan hari-hari selanjutnya mungkin akan berubah. Rahma mulai duduk sambil terus melirik Ibra. Masih memejamkan mata dan sedikit mendengkur, Rahma terkikik sendiri melihatnya. Dia menikmati pagi barunya dengan senyuman. Rasanya seperti mendapatkan teman baru.
Rahma segera melangkah pelan agar tidak membangunkan suaminya. Dengan cepat dia membersihkan diri dan bersiap membuatkan sarapan untuk Ibra. Saat Rahma hendak keluar dari kamar pun, Ibra masih terlelap.
Aneh, padahal mereka tidak melakukan kegiatan apa pun semalam, batin Rahma menerka apa yang terjadi dengan Ibra sampai selama itu memejamkan mata.
Semalam Ibra memang tanpa ragu meminta izin untuk tidur dengan Rahma. Ibra mempersilakan Rahma berlama-lama di kamar mandi untuk bersiap-siap. Rahma pun menggunakan waktu itu untuk berlama-lama di kamar mandi, dia gugup. Dan saat Rahma keluar, pemandangan Ibra yang sudah terlelap di tempat tidurnya membuat dia mengembuskan napas lega. Mungkin malam ini dia beruntung.
Semalam juga, Rahma ikut merebahkan diri di samping Ibra. Awalnya Rahma menepuk lengan Ibra untuk memberi tahu jika dia akan tidur di depan saja, tetapi Ibra melarang dan memberikan tempat untuk Rahma tidur di sampingnya. Rahma menuruti, karena dia harus bisa membiasakan diri. Dan memang setelah itu Ibra kembali memejamkan mata. Mungkin pekerjaan kantornya yang sangat banyak membuat Ibra kelelahan, duga Rahma, saat dia menatap wajah tampan Ibra dengan bebas. Mata itu tertutup dan Rahma mempunyai banyak kesempatan untuk memandanginya tanpa gugup.
"Sudah nggak ada?" desah Rahma pada diri sendiri. Sosok yang sebelumnya terlelap di tempat tidur sudah menghilang. Rahma sedikit kecewa, niatnya dia mau membangunkan lembut pria itu. Ah, berkhayal terus kamu Rahma.
"Semangat Rahma." Rahma berjalan kembali ke bawah. Menunggu sarapan pagi bersama Ibra. Dia yakin Ibra juga sedang bersiap-siap untuk pergi ke kantor.
"Pagi, Amma." Ibra datang dan terlihat segar dengan rambut yang masih basah.
Rahma menoleh. Tampan, batin Rahma memuji. Ini pagi hari, disambut dengan senyuman seperti itu, siapa yang tidak berdebar.
"Pagi." Suamiku, lanjut Rahma dalam hati. "Oh iya, Bi Mirna izin mau ke rumah adiknya. Titip salam sama kamu." Ibra hanya mengangguk dan tak lupa senyum yang sejak datang ke ruang makan masih tercetak jelas di wajahnya.
"Iya, kemarin dia juga sudah bilang sama aku." Ibra duduk menatap sarapan yang sudah tersedia. Ada telur mata sapi, roti gandum, dan madu. "Aku lapar." Ibra mengambil roti gandum dan telur mata sapi. Lalu satu lagi lembaran roti gandum diolesi madu. Rahma hanya menyaksikan sarapan suaminya dalam diam.
"Kamu kenapa tersenyum terus?" selidik Rahma. Perlahan dia menarik kursi dan duduk di samping Ibra.
"Lagi senang saja. Nggak biasanya aku tidur lama seperti semalam." Ibra mengunyah roti dengan semangat. "Kamu kenapa nggak bangunin aku?" lirik Ibra, menggerutu.
Sadarkah Ibra, lirikan itu berpengaruh bagi Rahma? Tahan Rahma, lagi-lagi Rahma hanya bisa berusaha sabar menahan godaan.
"Kamu ngedengkur sampai seru gitu, mana tega aku bangunin kamu. Capek banget kayaknya."
Ibra mengangguk sambil terus menikmati sarapan. "Iya, kemarin kerjaan banyak sekali dan ada kesalahan dari cabang yang harus aku tungguin biar tidak tambah kacau. Kamu tahu, kemarin aku sampai nggak sempat makan siang dan malam. Capek. Kopi buatan kamu enak. Pas," puji Ibra.
Rahma tersenyum ringan. Pagi yang indah untuk seorang istri. Pujian sederhana tetapi bermakna spesial bagi Rahma. Sebagian hatinya menginginkan status ini untuk selamanya. Tapi Rahma harus ingat, Ibra milik orang lain. Dia hanya dititipkan di rumah ini dalam rangka memberikan anak. Jangan memosisikan dirimu dalam makna istri yang sebenarnya. Walaupun statusnya jelas sebagai istri kedua.
"Kamu harus jaga kesehatan, apalagi makan siang. Kamu butuh tenaga untuk berpikir! Kamu keberatan tidak kalau aku buatkan makan siang tiap hari? Nanti aku suruh sopir yang antar. Gimana?" tawar Rahma tulus. Mungkin dia bisa membantu mengurus Ibra saat Marrisa tidak ada. Lagi pula ini tidak sulit. Mengurus suami sendiri, batin Rahma terus berusaha membenarkan niatnya.
Ibra berhenti fokus menatap sarapannya. Sekarang beralih menatap Rahma sambil tersenyum. "Boleh juga, daripada makan keluar kantor atau pesan. Bosan juga. Aku akan makan apa saja yang kamu buat, istriku."
Andai Ibra tahu debaran Rahma saat ini sungguh kencang.
"Amma, mengenai semalam ... maafkan aku karena tidur lebih dulu. Kita belum sempat." Rahma semakin kikuk. Membicarakan kejadian semalam yang tertunda adalah sesuatu yang memalukan. Seolah Ibra menduga dia mengharapkannya.
"Nggak apa-apa, yang penting kamu jaga kesehatan. Biar kondisi kamu fit dan tidak cepat lelah." Rahma berusaha sesantai mungkin walaupun aneh membahas urusan 'cepat lelah'. Ah, salah bicara.
"Hari ini kamu nggak perlu masak, nanti aku belikan makanan buat kamu," jelas Ibra dengan tenang sambil tetap tersenyum.
"Nggak apa-apa, bahan makanan banyak loh, di kulkas. Nanti aku masakan buat kamu. Apa kamu lembur hari ini?"
Ibra menggeleng. "Akan aku usahakan pulang cepat."
"Oke, nanti aku buatkan makanan yang enak khas Rahma Raihana."
"Aku akan pulang cepat," tegas Ibra seolah tak sabar menanti sore. Mereka saling membalas senyum. Kikuk hendak berbicara apa lagi.
"Aku pergi dulu, hati-hati di rumah. Hubungi aku kalau ada masalah." Ibra memang sudah bertukar ponsel untuk lebih memudahkan komunikasi. Saat Ibra beranjak berdiri, Rahma ikut berdiri. Mereka berjalan berdampingan menuju mobil yang sudah siap di pekarangan rumah. Sejenak saling menatap melemparkan senyum, secepat kilat saling mengalihkan pandangan.
"Hati-hati," ucap Rahma pelan. Dan entah kenekatan datang dari mana, Rahma merapikan kerah baju dan jas Ibra. Rahma melakoni tugas istri sepertinya. Ibra menatap tingkah Rahma tanpa penolakan. "Kamu jadi mirip istri sungguhan," bisik Ibra.
Aku memang istrimu, Rahma menggerutu dalam hati. Lalu mencubit lengan Ibra dengan spontan. Ibra hanya terkikik sendiri. Mereka seperti saling menggoda.
Ibra mengusap kepala Rahma dan sekali lagi, Rahma bertindak nekat dengan mengambil tangan kanan Ibra. Rahma mencium punggung tangan Ibra, seolah ingin menjelaskan kalau dia istri yang taat kepada suami. Permainan apa yang sedang kau mainkan, Rahma?
Ibra membiarkan Rahma melakukan hal itu. Karena di lubuk hatinya, dia menginginkan adegan normal itu terjadi di kehidupan rumah tangganya.
Rahma melambaikan tangan saat mobil Ibra semakin menjauh. Rahma masuk ke dalam rumah dengan perasaan baru. Janjinya hari ini, dia akan memberikan pelayanan yang bagus di mata Ibra. Rahma terkikik sendiri memikirkan kata 'pelayanan'. Maksud Rahma adalah menjadi ibu rumah tangga yang bertanggung jawab akan keadaan rumah, meliputi urusan masakan dan kebersihan rumah.
Rahma harus memanfaatkan keadaan yang ada. Berdiam diri dan menjauhi Ibra dirasa bukan jawaban, berteman akan lebih menyenangkan.
"Kamu bisa, Rahma. Tahan hingga kamu berhasil hamil, lalu melahirkan dan segalanya akan kembali seperti dulu. Kembali ke panti asuhan," ucap Rahma mengingat kembali tujuan dia bisa berada di tempat ini. Mengenal Ibra adalah bonusnya. Jangan ditambah dengan rasa lain, meskipun sulit.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Cadangan
Romance(SUDAH DITERBITKAN) "Ibra aku punya syarat kalau kamu mau menikah denganku. Aku nggak mau hamil, aku masih mau melanjutkan karierku dulu, karena saat ini waktu yang tepat untuk berjuang mengejar impianku. Tapi, jangan kecewa dulu! Aku punya solusi y...