13

120K 5.7K 88
                                    

Harus berapa kali aku bilang, cerita ini direpost sebagian, bertujuan untuk promosi karena akan dicetak. Jadi, sudah tahu kan kalau cerita ini nggak akan di repost sampai selesai. Kalau mau baca sampai tuntas, bisa beli di toko buku. Nanti aku kabarin tanggal dan waktunya. 😍

Budayakan membaca catatan penulis dong. Sampai berbusa aku jelasinnya .. 😌😖

***

Bab 13

Rahma masih menangis di dalam kamarnya setelah menerima kemarahan Ibra. Mimpi apa dia semalam hingga pertemuan pertamanya dengan Ibra setelah satu bulan lebih seperti ini?

Menyesal dia berdoa semalam berharap Ibra segera pulang.

Semua yang Ibra katakan adalah benar. Dia wanita murahan penjual darah dagingnya sendiri. Binatang saja mempertahankan anaknya. Lalu kamu? Rahma masih menangis mengakui jika dia calon ibu biadab.

Hati Rahma sakit, terasa pilu mendengar kenyataan. Kenyataan yang selama ini ditutupi Rahma sendiri. Bahkan dia berusaha berpura-pura.

"Ibu, maaf kalau saya ikut campur. Bapak Ibra sepertinya salah paham dengan Deny. Biar Bibi bicara dengan Bapak." Rahma menggeleng. Melihat Bi Mirna berdiri di sampingnya membuat Rahma ingin sekali memeluk. Benar saja, tanpa izin, Rahma memeluk pinggang Bi Mirna tanpa malu. Dia butuh pegangan.

"Aku ini ibu yang tega jual anaknya, Bi." Lalu tangis Rahma semakin pecah. Bi Mirna menepuk punggung istri majikannya dengan sayang. Mengenalnya beberapa bulan membuat rasa sayang semakin kuat. Rahma pun tak menganggap Bi Mirna sebagai orang lain. Jiwa keibuan Bi Mirna membuat Rahma rindu pelukan orangtua.

"Yang sabar yah, Bu," ucap Bi Mirna.

Sementara di ruangan kerja, Ibra masih duduk menatap daun pintu. Sekilas Ibra sempat mendengar suara isakan tangis Rahma saat keluar.

Apa dia terlalu kasar? Kenapa rencana awalnya menjadi kacau? Seharusnya dia menyatakan cinta dengan Rahma. Kenapa malah menghina dan merendahkan Rahma sedemikian ketus?

"Bodoh," bisik Ibra pelan. Menyadari kebodohannya. Emosi membuatnya lupa diri. Cemburu yang berlebihan, hanya karena Rahma membagi senyuman untuk pria lain. Semua di luar batas kemampuannya mengatur perasaan.

Tak sadar suara ketukan pintu terdengar. "Masuk."

Bi Mirna datang dengan kikuk. "Maaf, Pak. Saya hanya mau meluruskan kebenaran. Deny merasa tidak enak dengan Bapak. Sebenarnya uang lima juta itu diberikan Ibu Rahma untuk membayar biaya kuliahnya. Hanya itu. Akhir-akhir ini Ibu Rahma melupakan rasa jenuhnya dengan membantu Deny mencuci mobil. Biasanya sama saya juga, kebetulan tadi saya masih di dapur. Saya sedang membuatkan minuman untuk Ibu Rahma." Penjelasan panjang Bi Mirna hanya dibalas anggukan oleh Ibra.

Pikiran Ibra semakin kacau. Dia sendiri tak menyangka akan bertindak selabil itu. Menarik paksa Rahma yang sedang hamil besar, lalu menyemburkan kata pedas sepihak. Tapi Rahma seperti sedang bermain mata dengan Deny, sebagian isi hatinya masih ingin membela.

"Ibu Rahma kesepian, Pak." Lagi-lagi ucapan Bi Mirna semakin membuat dadanya sesak. Ke mana saja dia selama ini? Jangan tertawa kau pria brengsek!

"Sekarang dia ada di mana?" tanya Ibra menyesal.

"Di kamar."

"Apa dia masih menangis?" Bodoh kau Ibra, tentu saja masih menangis. Kau baru menyebutnya murahan.

Anggukkan Bi Mirna semakin membuat perasaan Ibra tak tenang. Bertemu dengan Rahma sekarang ini tidak akan menyelesaikan semuanya. Rahma pasti membutuhkan waktu untuk meredakan rasa sakit hatinya. Ibra sadar diri.

"Saya pergi dulu, Bi. Saya janji akan meminta maaf, tapi tidak sekarang saat kondisi Rahma masih emosi. Saya...." Ibra bingung ingin mengutarakan sesuatu. Dia berdiri lalu menatap Bi Mirna.

"Bibi kenal saya sejak dulu, kan? Saya khilaf, Bi." Seolah ingin menjelaskan. "Saya cemburu, Bi." Akhirnya Ibra mengakui rasa cemburu sialan itu. Bi Mirna menyunggingkan senyum. Majikan yang sudah lama dia kenal memang sebenarnya pribadi yang baik. Dia pasti punya alasan bertindak seperti tadi, batin Bi Mirna.

"Saya senang Bapak jujur mengakui itu. Beri tahu Ibu Rahma. Mudah-mudahan dia memaklumi." Ibra menggeleng tak yakin. Tuduhan yang dia layangkan kepada Rahma membuatnya ragu jika dirinya akan dimaafkan. Setidaknya Ibra tidak mau berharap banyak. Dia pantas diberikan hukuman.

"Saya pergi dulu, Bi." Ibra butuh udara segar. Menjernihkan pikiran dan mencoba mencari cara guna merangkai kata untuk permohonan maafnya kepada Rahma.

Bisakah dia dimaafkan? batin Ibra takut menerka.

***

"Makan malamnya, Bu." Bi Mirna kembali masuk ke kamar Rahma membawakan makan malam. Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam dan Rahma terlihat lebih segar, walaupun masih terlihat sembap, setelah membersihkan diri. Sore tadi saat sedang menangis dia tertidur dan saat bangun wajahnya tampak kusut.

"Terima kasih, Bi." Rahma tersenyum seadanya dan duduk di tepi ranjang. Bi Mirna meletakkan satu nampan makan  di ranjang. Rahma tanpa malu langsung menyambar sendok dan segera menikmati makan malam. Hatinya memang sakit, tapi dia tidak cukup bodoh untuk tidak memberikan asupan makanan untuk putranya di dalam sana. Sejak tadi anak ini bahkan sudah menendang tak henti. Rahma tidak boleh egois.

"Bapak masih belum pulang." Rahma tidak menghiraukan ucapan Bi Mirna. Prioritasnya saat ini adalah melahirkan anak ini dengan sehat lalu pergi jauh meninggalkan kehidupan Ibra. Tapi, janji akan memberikan asi untuk putranya tetap akan dia lakukan. Tanpa izin Ibra sekalipun dia akan tetap memberikan.

"Apa Ibu mau dibuatkan susu setelah ini?"

Rahma menggeleng.

"Mau saya siapkan roti atau biskuit? Atau brownies yang Ibu buat pagi tadi?"

Rahma menggeleng. Setelah ini dia mau kembali tidur dan melupakan kejadian hari ini.

***

Istri CadanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang