12

119K 5.7K 209
                                    

Bab 12


"Bi, Rahma bagaimana? Apa masih malas untuk beraktivitas?" tanya Ibra kepada Bi Mirna melalui ponsel. Sudah hampir satu bulan Ibra menetap di Lombok. Dan yang dilakukan Ibra untuk tahu kondisi Rahma adalah menghubungi Bi Mirna. Ibra tidak berani menghubungi Rahma langsung karena mengira Rahma tidak akan mau. Saat Ibra mengirimkan pesan singkat saja, Rahma tidak membalasnya. Setidaknya ucapan selamat bekerja atau terima kasih atas kiriman uang yang dia berikan. Rahma tidak melakukannya.

Ibra sempat menduga mungkin Rahma tersinggung karena dia mengiriminya uang. Berdalih ucapan terima kasih karena mengandung seorang putra, bisa saja Rahma marah. Tapi bukankah Rahma memang memulai semua ini karena uang? Jumlah yang dia berikan lebih sedikit dibandingkan permintaan Rahma dahulu. Ibra terlalu banyak menduga. Hingga takut mencoba lagi. Rahma tidak membalas pesan, baginya itu adalah sebuah jawaban. Jawaban jika mereka memang tidak perlu berkomunikasi.

"Ibu Rahma baik-baik saja. Sudah semakin besar, Pak. Bayinya juga sering menendang."

Ibra tersenyum iri mendengar suara Bi Mirna. Saat pertama dia mendengar kabar putranya menendang adalah kebahagiaan tersendiri. Andai dia bisa ada di sana merasakan tendangannya.

"Apa setiap malam Rahma masih bangun untuk makan?"

"Masih, Pak. Ibu meminta saya menyiapkan biskuit atau buah di kamar. Terkadang Ibu merasa malas bangun ke luar kamar sendiri."

Hati Ibra kembali sesak. Dia ingin sekali berada di sana. Melakukan peran suami siaga.

"Kamar untuk putraku sudah bisa ditempati?" Ibra bahkan sudah menyiapkan kamar untuk putranya. Letaknya di samping kamar yang Rahma tempati saat ini.

"Masih belum bisa ditempati, Pak. Ibu Rahma tidak suka dengan bau kamar itu. Masih terasa aneh."

Ibra tersenyum mendengarnya.

"Mungkin bau furniture baru. Berikan pengharum ruangan," perintah Ibra. "Hati-hati dan tolong jaga Rahma. Saya akan pulang secepatnya."

"Baik, Pak."

Ibra mematikan ponsel sambil menghela napas. Menatap hamparan laut luas. Indahnya alam tak mampu melupakan kerinduannya akan Rahma. Istrinya yang sedang mengandung putranya.

Satu bulan tidak seatap dengan Rahma membuat separuh hatinya hilang terbawa ombak. Lalu Marrisa?

Ibra sudah lelah menunggu Marrisa. Setiap dia mencoba menghubungi Marrisa selalu nihil hasilnya. Terakhir satu bulan yang lalu. Marrisa benar-benar tidak diketahui keberadaannya. Sesuai alamat yang diberikan Marrisa di Roma ataupun Paris, semuanya tidak bisa dilacak jejaknya.

Jangan mencari aku Ibra, percaya aku akan datang setelah Rahma melahirkan.

Semenjak dia mendengar yang Marrisa ucapkan dengan lantang, Ibra seolah lelah dan malas menghubungi Marrisa. Apa pun yang terjadi nanti, biarlah waktu yang menjawab. Pikirannya sedang terbagi dengan kehamilan Rahma, dan memikirkan aksi kucing-kucingan Marrisa yang dirasa membuang waktunya.

Ibra lalu membaca pesan yang baru dia terima.

Mama: Kamu ke mana saja? Mama dan Papa kangen. Apa kabar menantu Mama? Sekali-kali ajak ke Singapura.

•Me: Baik, Ma. Maaf kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Pertengahan tahun depan, aku janji akan menjenguk Mama dan Papa

Mama: Kami menunggu kalian. Jangan sibuk masing-masing. Ingat, mama mau cucu dari kalian.

"Mama akan segera mendapatkan cucu." Ingin sekali Ibra memaparkan rahasia ini. Sampai saat ini, keberadaan Rahma memang masih dia sembunyikan. Rumah yang sekarang ditempati memang belum diketahui kedua orangtuanya.

Istri CadanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang