Bab 5
"Bi, tadi ke mana?" tanya Ibra saat kembali lagi ke dapur setelah selesai membersihkan diri. Rahma sudah tidak terlihat di sana
"Pergi ke supermarket, Pak. Beli kebutuhan dapur." Bi Mirna langsung memberikan teh hangat kepada Ibra. Sesuai pesanan Rahma.
"Bapak ke mana saja? Sibuk sekali sepertinya?" Bi Mirna berdiri di samping Ibra yang duduk di kursi.
"Pekerjaan saya banyak, kemarin terlalu lama berlibur." Ibra memang mengurus pekerjaan yang terbengkalai. Selain itu, dia merasa belum siap satu atap bersama Rahma tanpa kehadiran Marrisa.
Selama satu minggu ini juga komunikasinya dengan Marrisa berlangsung lancar. Walaupun di setiap pembicaraan Marrisa mengungkit Rahma, Ibra tetap menikmatinya.
Dia merindukan Marrisa. Merindukan malam-malam mesra yang baru saja mereka nikmati. Ini terlalu singkat, Ibra sadar inilah risiko yang sudah diingatkan Marrisa sebelumnya.
Ada Rahma di dekatmu, Ibra. Dia halal bagimu. Mendadak suara Marrisa terngiang di kepala Ibra.
"Di mana dia sekarang, Bi?" tanya Ibra.
Seolah tahu maksud sang majikan, Bi Mirna tersenyum lagi. "Maksudnya Ibu Rahma?"
Mendengar panggilan 'Ibu Rahma' membuat Ibra menaikkan alisnya. "Kenapa dia juga dipanggil seperti Ibu Marrisa?"
"Dia juga istri Bapak, kan?"
Ibra menyesap teh hangat pelan. Dia harus tenang, menerima status Rahma di rumah ini. Kedudukannya sama dengan Marrisa. Hanya saja, Marrisa tidak ada di sini sampai waktu yang belum bisa dipastikan.
"Orangnya baik, Pak. Pintar masak, membuat kue. Dan setelah dekat, dia sangat bawel. Bibi merasa mudah dekat dengannya. Apalagi dia suka berkebun, bunga di taman belakang dia yang merawat. Bibi serasa melihat Nyonya Nadira di rumah ini."
Ibra semakin bingung dengan ucapan Bi Mirna.
"Kenapa Bibi jadi promosiin dia? Jangan samakan dia dengan Mama. Jelas berbeda," desis Ibra kesal.
"Bibi tidak bilang sama, tapi memang mirip. Cobain deh, ini brownies buatan Ibu Rahma, ini kedua kalinya dia membuat dan rasanya mirip buatan Nyonya Nadira." Bi Mirna membuka tudung saji. Kebetulan brownies buatan Rahma memang sudah jadi. Ibra mencoba sesuap rasa brownies itu. Rasanya sungguh mirip buatan sang mama, hati Ibra tidak bisa berbohong. Bahkan saat tadi dia sampai ke rumah, aroma kue ini memang menyambutnya. Ibra merasa seperti pulang ke rumah orangtuanya.
Ibra sempat menduga kehadiran sang mama di rumah ini, meskipun kemungkinan itu sangat tipis. Mengingat rumah ini masih rahasia, Ibra belum memberitahukan rumah ini kepada orangtuanya. Terlalu berbahaya. Terlebih kehadiran Rahma, rahasia ini harus dijaga selamanya.
"Enak, kan?" Lamunan Ibra terganggu oleh suara Bi Mirna.
"Iya mirip," jujur Ibra.
"Semoga Bapak selalu perhatian dengan Ibu Rahma. Dia sepertinya orang baik."
Ibra mencemooh dalam hati. Baik tapi menjual bayinya.
"Sekarang dia di mana?" tanya Ibra. Suka tidak suka, Ibra memang harus mencoba dekat dengan Rahma. Membayangkannya saja sudah membuat kepalanya pusing. Marrisa, anak, dan pernikahan. Semua menjadi satu, bahkan ditambah Rahma.
"Aku akan menemuinya." Ibra mengatur napas tenang. Harus dihadapi. Ibra berdiri dan segera melangkah naik ke atas. Tempat Rahma berada.
Ibra harus membicarakan kesepakatan dan perjanjian antara Rahma dan Marrisa. Ibra yang akan menyelesaikannya. Marrisa sudah berpesan perihal uang yang Rahma terima dan pelunasannya. Mengingat itu membuat Ibra semakin tak percaya. Rahma benar-benar menjual darah dagingnya demi uang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Cadangan
Romance(SUDAH DITERBITKAN) "Ibra aku punya syarat kalau kamu mau menikah denganku. Aku nggak mau hamil, aku masih mau melanjutkan karierku dulu, karena saat ini waktu yang tepat untuk berjuang mengejar impianku. Tapi, jangan kecewa dulu! Aku punya solusi y...