Aroma telur bercampur daun bawang dan juga aroma dari lelehan mentega yang berlumuran di kulit kering martabak manis, begitu melekat di indera penciuman sampai-sampai membuat perut keroncongan.
Martabak telur dan martabak manis, semuanya adalah favorit, apalagi buatan tangan Pak Asep.
Biasanya jam 7 malam, makan bersama dengan mama dan adiknya di ruang tengah. Ditemani dengan minuman kesukaan masing-masing dan juga acara komedi di televisi. Saat martabak tinggal satu potong, pasti akan ada yang memperebutkannya sampai-sampai membuat seisi ruangan gaduh tidak selesai-selesai.
"Suit dulu. Entar yang menang dapat martabak, yang kalah buang sampahnya."
"Ih, pasti Bang Helmi bakal curang."
"Curang gimana? Ini gue ajak suit, biar adil."
"Gak mau! Gue engga bakal bisa diperdaya sama lo, ya. Lo, kan, suka curang. Udah, gue aja yang makan itu sepotong, lo yang buang sampah."
"Heh, gak bisa gitu! Suit dulu."
"Engga mau. Lo, kan, abang gue, harus ngalah, dong."
"Dih, ujung-ujungnya gitu. Laporin mama, nih."
"Eh, yang ada mama malah dukung gue. Yang tua, kan, harus ngalah sama yang muda."
"Anjirlah. Liat aja besok, gue ke rumah papa. Minta martabak yang banyak buat gue sendiri. Kan, gue yang paling muda kalau di sana."
"Lo lupa, ya? Kan, kita satu bapak. Gue tetep jadi yang paling muda. Kalau sama papa, lo makin disuruh ngalah."
"Ya lo engga usah ikut, lah. Di rumah aja, makan rengginang."
Menyebalkan, namun membuat rindu tidak berkesudahan.
Sepotong memori tersebut menghampirinya di dalam mimpi sebelum akhirnya kesadaran membawa kembali ke dunia nyata.
Ruangan tidak dikenal sontak menyambut netranya setelah kelopak mata terbuka setelah hampir tiga hari tidak sadarkan diri.
Untuk beberapa saat, maniknya berkeliling untuk membiasakan penglihatannya pada tempat ini yang terlihat begitu asing.
Di mana ini? Batinnya.
Lantas ia hendak mendudukkan diri. Namun sebelum benar-benar duduk, tiba-tiba dia mendesis kesakitan seraya memegangi perut.
Kepala menunduk memeriksa seragamnya yang sangat lusuh dengan ada bercak darah di mana-mana kemudian sedikit menyibaknya, melihat balutan perban yang membalut luka jahitan.
Helmi terdiam, mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi sebelum dia berada di tempat ini.
"Kayaknya gue lagi beli martabak, deh," gumamnya dengan suara serak sembari memegangi pelipisnya.
Karena cukup lama dia tidak sadarkan diri, membuatnya agak linglung. Kembali Helmi diam.
Sakit di perutnya kian terasa, membuat kilas balik sore itu melintas jelas sehingga otaknya kini dapat bekerja dengan lebih cepat menyadari situasi bahwa dirinya tengah diculik.
Bergegas Helmi turun dari tempat tidur kemudian melangkah mendekati pintu.
Diputarnya kenop pintu berkali-kali, akan tetapi tidak membuat pintu terbuka sedikit pun karena dikunci dari luar."Woy! Buka!" Tangannya mengepal menggedor-gedor pintu, berharap ada orang di luar ruangan.
Tidak lama Helmi memukuli pintu dengan keras, tenaganya seolah terkuras habis. Wajahnya semakin pucat dan tenggorokan seakan kering.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUNTUH (Rumah Yang Ingin Utuh) | Selesai
General FictionCerita ini hanya akan menyuruhmu untuk membayangkan bagaimana jika rumah kehilangan pondasinya. ©2021 Start : 29/11/2021 End : 22/10/2022