Hidup akan lebih damai jika semua perjalanan yang sudah dilalui tetap bisa disyukuri meskipun tidak diharapkan untuk hadir. Ya. Bayu telah merasakan kedamaian tersebut.
8 bulan berjalan semenjak anggota baru telah bergabung di dalam ruang waktunya, kini usianya telah genap di angka 20 pada bulan Mei kemarin dan hal sederhana yang paling dia syukuri adalah setiap hembusan napas yang masih ada dari dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Orang-orang tersayang.
Dewasa ini, kesederhanaan adalah yang berarti dan kebutuhan adalah yang terpenting. Hidupnya sekarang bukan tentang dirinya saja, akan tetapi juga mereka yang dia kasihi. Seluruh ekspektasi terpendam begitu dalam, tidak ada yang Bayu harapkan dari diri sendiri kecuali bahu yang kuat.
Dia sudah cukup dengan apa adanya sekarang. Bahkan, cukup dengan Bayu Bagaskara, tanpa adanya gelar apa pun.
Terus terang Bayu tidak merasa rendah diri, meskipun saat ini maniknya tengah menatap sebuah foto yang baru saja dia pasang di dinding. Foto yang menampilkan dirinya memakai kemeja batik berlengan panjang sambil menggendong sang anak dan di sampingnya berdiri Tania dengan pakaian wisuda.
Akhirnya Tania resmi menyelesaikan pendidikannya sebagai seorang sarjana teknik sipil kemarin.
Senyumnya merekah, sirat akan kebanggaan. Tidak peduli dengan derajat latar belakang pendidikannya dengan Tania, hatinya kini hanya ada pesta kebahagiaan mengingat bagaimana lelahnya Tania mengerjakan skripsi di tengah kehamilan.
"Mas?"
"Ha?" Bayu sontak menoleh ketika Tania menepuk bahunya tiba-tiba.
"Ngapain diem di sini?"
"Ini habis masang foto kita kemarin. Bagus, kan?"
Tania ikut memindahkan atensinya ke arah foto itu lantas menyunggingkan senyum tipis.
"Iya, bagus."
Menjadi seorang sarjana adalah impian banyak orang. Toga dan gelar yang akhirnya melekat, menjadi sebuah penghargaan atas perjuangan bersama tugas-tugas dosen yang melimpah dan kemudian dapat diabadikan melalui sebuah foto, membuat hati begitu bahagia tidak terbayangkan, apalagi di sisinya ada dua sosok yang paling berpengaruh di kesehariannya saat ini.
Akan tetapi di sisi gelora riang yang dirasakan atas pencapaiannya, terlintas satu hal di dalam benak Tania. Dia pun menoleh dan mengamati wajah Bayu dari samping.
Si pekerja keras, sebutan itulah yang selalu Tania sematkan untuk Bayu. Meski keadaan mendesak, Tania tidak pernah sekali pun merasa sesak karena ada Bayu. Laki-laki ini seolah memikul semua muatan yang datang seorang diri tanpa mau berbagi, sampai-sampai impian pun rela dipendam.
Kini, netranya tertuju pada sorotan Bayu yang masih menatap penuh binar foto wisudanya sebelum berujar lembut.
"Mas?"
"Hm?" Bayu menoleh seraya menaikkan kedua alisnya.
"Kamu masih pengen kuliah?"
Bayu terdiam dengan alis yang perlahan turun ke posisi semula.
"Dulu kamu pernah bilang pengen lanjut ke arsitektur."
"Iya, itu dulu."
"Kalau sekarang?"
"Ya, masih. Tapi engga bisa."
"Kenapa engga bisa?"
Bayu menghela napas halus sembari memutar badannya agar bisa saling berhadapan dengan Tania.
"Ada banyak alasan kenapa aku lebih memilih untuk memendam keinginan kuliah, Tan. Dan itu karena-"
"Karena kamu merasa yang paling bertanggung jawab atas hubungan kita. Iya?" ucap Tania, memotong kalimat Bayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUNTUH (Rumah Yang Ingin Utuh) | Selesai
Ficción GeneralCerita ini hanya akan menyuruhmu untuk membayangkan bagaimana jika rumah kehilangan pondasinya. ©2021 Start : 29/11/2021 End : 22/10/2022